Pendahuluan
Pada setiap organisasi yang memiliki ciri-ciri
inovatif, selalu ada seorang tokoh pimpinan yang membuat organisasi tersebut
menghasilkan karya inovatif. Peranan seorang pemimpin sebagai penggerak
sekumpulan orang dalam organisasi untuk mencapai tujuan bersama sangatlah
penting. Pemimpin adalah orang yang menjadi penggerak dan sumber motivasi
bagi pengikutnya untuk mencapai tujuan organisasi. Ada beberapa hal biasanya
yang dilakukan oleh seorang pemimpin inovatif, memiliki visi yang strategis, mampu
menginspirasi pengikutnya untuk ikut memiliki visi tersebut dan mewujudkannya
menjadi kenyataan, memberikan kesejahteraan, memberikan rasa aman; membangun kreatifitas dan inovatif, Kreatifitas
adalah proses melahirkan ide atau gagasan. Proses ini merupakan perpaduan dari
motivasi, waktu, usaha dan pengetahuan. Kreatifitas adalah produk berpikir
divergen. Kreatifitas untuk menciptakan sesuatu yg baru, Kreatifitas adalah keberanian untuk melepaskan
diri dari kepastian. Kita harus mau membebaskan dari belenggu bahwa hanya ada
satu jawaban yang pasti untuk satu masalah. Tidak ada satu hal pun yang absolut dan tak
tergantikan. Model berpikir adalah
“alat” yang digunakan untuk membuat prediksi, menjadi acuan untuk bertindak
dan memahami dunia. Sedangkan inovasi adalah
ide yg aplikatif dan tindakan yg mendatangkan hasil. Inovasi adalah hasil
dari berpikir konvergen. Inovasi menciptakan hal yang berbeda dari sebelumnya atau sudah ada.
Inovasi lahir dari gabungan pengetahuan yg
sudah ada dan pengembangan pengetahuan yg baru.
Pemimpin
inovativ adalah sosok yang berani mengambil risiko dengan senantiasa menciptakan
hal-hal baru. Mereka adalah orang yang berpikiran positif terhadap para
pengikutnya dan memperlakukan para pengikut dengan penuh kepercayaan agar
mereka dapat mewujudkan potensi kreatifnya semaksimal mungkin. Bekal
fundamental yang dimiliki pemimpin inovatif adalah: (a)Integritas; (b)Motivasi; (c) Kapasitas/kemampuan; (d) Pemahaman/pengertian; (e) Pengetahuan serta (f) Pengalaman. Fundamen (a)
sampai (f) memiliki makna yang sequen/berurutan. Tanpa (a) maka (b) akan berbahaya. Tanpa (b) maka (c) tidak berpotensi.
Tanpa (c) maka (d) akan terbatas. Tanpa (d) maka (e) tak berarti Tanpa (e) maka (f) menjadi buta. (f) mudah diperoleh/ diberikan dan dapat dengan
mudah digunakan hanya oleh orang-orang yang memiliki kualitas A s/d E.
Kamuflase paradigma
Paradigma adalah ekstraksi dari teori, prinsip dan
nilai-nilai yang telah terinternalisasi, berfungsi sebagai sistem “kekebalan”
yang memusnahkan pikiran atau ide yg dapat mengganggu sistem nilai kita. Paradigma inilah yg
menentukan pola pikir dan cara kita memandang dunia. Jika paradigma kita kaku, ia akan memusnahkan
semua ide-ide baru dan berbeda. Paradigma ini juga
yang dapat menggambarkan kekuatan karakter seseorang.
Djamaludin (2012), Betapa pentingnya memutar pola
pandang tentang inovasi diingatkan oleh beberapa orang pakar seperti berikut.
Charles Handy (1997):
"Kita keliru bila kita beranggapan bahwa masa depan adalah
kelanjutan dari masa lalu... sebab masa depan akan sangat berbeda dengan masa
lalu. Kita harus meninggalkan cara lama agar sukses menghadapi masa
depan"
Peter Senge (1997):
"Kita harus berhenti membayangkan apa yang akan dilakukan di
masa) depan dengan melihat apa yang membuat kita sukses di masa lalu? \
Michael Hammer (1997J:
"Kalau kita merasa diri kita hebat, kita akan binasa. Sukses
di masa lalu tidak menjamin sukses di masa depan. Formula sukses di masa lalu
akan jadi penyebab kegagalan di masa depan."
Namun banyak orang
mengambil posisi "tengah" alias posisi "aman". Mereka
tidak berusaha memperjuangkan ide dan pendapatnya kuat-kuat, tetapi lebih
memilih untuk menyenangkan semua pihak. Dalam berprestasi, ada orang yang
puas dengan menjadi "rata-rata", berorientasi pada penilaian pihak
eksternal sehingga tidak menuntut dirinya untuk selalu mencapai titik terbaik
(E. Rachman, 2012). Tipe orang seperti diatas tidak memahami bahwa perubahan tidak akan pernah berhenti, sebab
perubahan itu bersifat permanen. Tidak
ada satupun diantara kita yang dapat mengingkari
fakta ini. Dan kita pun pasti ikut didalamnya. Negara,
perusahaan, rumah tangga, bahkan individu harus
mengakui dan membuka diri terhadap
perubahan dunia luar, sekaligus merencanakan perubahan internal secara
periodik. Kita
adalah bagian dari perubahan yang bergerak secara kontinue, sehingga jika memaksakan
diri untuk tidak mengikuti arus perubahan Akan menyulitkan dirisendiri.
Manajemen yang enggan merubah paradigma
mereka dan menolak menyejajarkan diri dengan paradigma baru, niscaya akan
tumbang oleh dahsyatnya perubahan
itu sendiri Perubahan adalah proses
yang terorganisir dan harus diarahkan untuk memberdayakan seluruh komponen organisasi, yang harus siap menerima dan
bergabung dengan perubahan itu sendiri (Indra Jaya Sihombing,
2011)
Akhir-akhir ini, banyak sekali muncul tulisan tentang pergeseran
paradigma. Umumnya membandingkan relevansi paradigma lama dan paradigma baru
dalam kehidupan yang berubah. Secara umum tulisan di bidang tersebut :
menganalisis tentang pentingnya penerapan paradigma baru yang lebih
sesuai untuk mengelola masa depan yang
terus berubah dengan cepat. Salah satu contoh pergeseran paradigma adalah
dalam melihat apakah kondisi kehidupan di masa depan relatif stabil dan bisa
diramalkan (predictability). Banyak orang memiliki sudut pandang bahwa segala
sesuatu bersifat stabil dan bisa diprediksi. Pada masa sekarang dan dekade
yang akan \ datang, stabilitas tersebut semakin sulit terlihat. Apa yang
terjadi di depan semakin sulit untuk diprediksi karena perubahan menjadi
tidak jelas arahnya dan tidak lagi mengikuti sebuah pola yang konsisten.
(Djamaludin, 2012)
Kematangan dan sikap
seperti ini menjadi sangat krusial di tengah banyaknya persoalan yang silih
berganti dan tuntutan yang makin kompleks. Padahal, globalisasi yang berlangsung cepat seiring dengan
perkembangan teknologi yang semakin canggih telah mewarnai era awal abad
ke-21 yang ditandai dengan kompetisi global yang berlangsung cepat dalam
segala bidang. Dampaknya pun ternyata telah menyentuh hampir semua bidang
kehidupan, tak terkecuali sektor organisasi publik. Sementara kesadaran
seseorang akan mempengaruhi di setiap aspek kehidupan, terutama dalam proses
pembuatan keputusan. Salah satu indikator organisasi sehat adalah komitmen
pemimpin dalam menyeimbangkan kinerja tim, anggota tim berkontribusi dalam
memberikan kinerja yang optimal.
Salah satu bentuk reformasi yang
mungkin ditempuh guna beradaptasi dengan era global tersebut adalah bahwa seorang pemimpin mampu membawa anggota kelompoknya memiliki jiwa entrepreneurship yang tinggi,
yaitu kemampuan mencari cara baru guna memaksimalkan produktivitas dan
efektivitas (Osborne dan Gaebler, 1995). Hal ini perlu dilakukan mengingat
tuntutan publik yang semakin kompleks dan kebutuhan pelayanan masyarakat yang
bertambah banyak sehingga untuk mewujudkan tataran ideal tata penyelenggaraan kepemerintahan yang baik memerlukan upaya yang serius. Sementara itu di lain pihak, tuntutan kebutuhan
masyarakat yang mesti dilayani birokrasi semakin kompleks dan bertambah kuantitasnya,
di samping tingkat kesadaran publik yang juga makin tinggi. Kondisi ini
mengharuskan organisasi publik siap melakukan perubahan-perubahan fundamental
organisasional untuk menuju good governance.
Pemimpin visioner adalah
pemimpin inovatif
Definisi kepemimpinan yang menggambarkan apa itu
kepemimpinan dan bagaimana menjadi seorang pemimpin yang mampu mendorong
kinerja timnya yang solid, John Maxwell (dalam Bayu setiaji, 2012)
mengatakan, “ Leadership is inspiring
and guiding others to instigate change from the inside-out, based on their
own intrinsic motivation. Leadership is the art of influence”. Prof Dr Roger Gill (dlam Bayu Setiaji, 2012)
mendifinisikan bahwa “ Leadership is
process of creating a desire in people to achieve objective, of getting
people to want to do what you want them to do”. Warren Bennis mengatakan, “Characterized managers are people who do
things right and leaders are people who do the right things”.
Kepemimpinan transformasional dapat dipelajari dalam model kepemimpinan yang dikembangkan
oleh Avolio dan Bass (1991), Full Range
Leadership model. Di dalamnya terdapat kepemimpinan transaksional dan dan
kepemimpinan transformasional. Unsur-unsur dari kedua jenis kepemimpinan ini
terbentuk berdasarkan sumbu vertikal yang mengukur efektivitas dan sumber
horisontal yang mengukur keterlibatan (pasif – aktif). Kepemimpinan
transaksional cenderung menuju ke kuadran tidak efektif dan pasif;
kepemimpinan transformasional cenderung menuju ke kuadran aktif dan efektif.
Bass (1991) menemukan delapan dimensi perilaku kepemimpinan yang mencakup dua
jenis kepemimpinan tersebut, yakni: 1) Perilaku
idealisasi (idealized influence), pimpinan yang memiliki standar tinggi
terhadap moral dan etika; 2) motivasi
inspirasional (inspirational motivation), yaitu pimpinan yang memiliki
visi kuat untuk masa depan berdasarkan nilai dan ideal; 3) Stimulasi intelektual, yaitu pimpinan
yang memberikan tantangan kepada norma organisasi, memicu timbulnya pemikiran
divergen, dan mendorong bawahan untuk menyusun strategi-strategi inovatif; 4)
Pertimbangan individu (individual
consideration), yakni perilaku pimpinan yang diarahkan untuk menciptakan
kreativitas, introspeksi, imajinasi, kekayaan sumber daya, dan wawasan yang
luas dan jeli
-
Perbedaan pengaruh jenis
kepemimpinan (West-Burnham et al. (1995:68)
Kepemimpinan
transaksional
|
Kepemimpinan transformasional
|
1.
Mengatur manusia untuk
mendapatkan hasil
2.
Mencari dan mempertahankan
akuntabilitas
3.
Sentralisasi
strategi-strategi intervensi
4.
Menekankan kepemimpinan
untuk mendominasi
|
1.
Menambah kesempatan untuk
pengembangan kepemimpinan
2.
Mendukung otonomi persona
para pengajar
3.
Desentralisasi dan
mengesampingkan strategi intervensi
4.
Mendukung pengajar/guru dan
staf untuk memaksimalkan hasil organisasi
|
Berbagai pengertian tentang kepemimpinan, dapat disimpulkan bahwa
pemimpin itu mampu berperan sebagai seorang leader dan sebagai seorang
manager dalam mengelola organisasinya. Kompetensi seorang leader adalah
1.
Kemampuan dalam menyampaikan sasaran
Memahami organisasi dan membawanya ke arah satu
sasaran sehingga mampu memenangkan menghadapi persaingan. Jack Welch
mengatakan pemimpin yang baik harus mampu menciptakan visi, mereka
mengartikulasikan visi sepenuh hati,
merangkul visi tersebut dan tak kenal lelah mengupayakan pencapaian
visi tersebut.
2.
Kemampuan dalam membangun hubungan
Memahami setiap orang, kelompok, atau organisasi lain
yang berperan terhadap keberhasilan perusahaan dan menghargai peran serta
kontribusi mereka. Dapat digambarkan bahwa seorang pemimpin harus mudah
didekati, mengenal kelompok-kelompok dan pemimpin informalnya, menyeluruh
memberitahukan tujuan, dan berusaha untuk bekerja sama dengan orang lain.
3.
Kemampuan dalam memberikan inspirasi
Membangun kredibilitas pribadi dan "menyuntikkan"
komitmen kepada orang-orang lain. Seperti Ki Hajar Dewantara memberikan
gambaran dengan rumusan "Ing ngarso sung tuladha." yang artinya
seorang pemimpin yang selalu berdiri di depan harus mampu memberikan
inspirasi, contoh dan teladan bagi yang dipimpinnya.
Sementara itu, kompetensi seorang manager adalah
a. Kemampuan dalam mengarahkan operasi
Menetapkan proses yang memungkinkan organisasi dan
orang-orang di dalamnya untuk dapat bergerak maju ke arah tercapainya
sasaran.
b. Kemampuan dalam mengembangkan organisasi
Mengembangkan keterampilan, serta menetapkan peran dan
tanggung jawab setiap orang untuk dapat menyelesaikan pekerjaan.
c. Kemampuan dalam mendorong kinerja
Menyampaikan pesan kepada setiap orang agar mereka
mengerti bahwa kinerja mereka mempengaruhi kinerja tim, kelompok, dan
organisasi secara keseluruhan.
Bagi sebuah tim, sangat ideal sekali jika
memiliki atasan atau pemimpin yang
memiliki kedua kompetensi tersebut yang seimbang. Namun, John P Kotter dalam
bukunya "A Force for Change: How Leadership Differs from
Management" mengatakan bahwa jumlah pemimpin yang memiliki kompetensi
leader dan manager yang kuat dan seimbang, sangatlah sedikit, jauh
dibandingkan dengan seorang pemimpin yang hanya mampu menjalankan peran
manajerialnya. Hal ini yang menjadikan tantangan bagi seorang pemimpin, di
dalam mengembangkan kemampuan leader dan manager dan mengimplementasikannya
secara seimbang
Pada aspek sumberdaya manusia, isu
utamanya adalah upaya menciptakan sumberdaya yang kompeten dalam bidangnya
yang mencakup beberapa strategi di antaranya rekrutmenSDM, pengembangan
pegawai dan peninjauan sistem jenjang karir. Muljarto Tjokrowinoto (2001)
mengemukakan bahwa kompetensi seorang meliputi beberapa kriteria berikut:
Pertama, Sensitif dan responsive terhadap peluang dan tantangan yang timbul
di dalam pasar; Kedua, Tidak terpaku pada kegiatan rutin yang terkait dengan
fungsi instrumental, akan tetapi harus melakukan terobosan melalui pemikiran
yang kreatif dan inovatif; Ketiga, Mempunyai wawasan futuristik dan sistemik;
Keempat, Mempunyai kemampuan mengantisipasi, memperhitungkan dan meminimalkan resiko;
Kelima, Jeli terhadap potensi sumber-sumber dan peluang baru; Keenam,
Mempunyai kemampuan untuk mengkombinasikan sumber menjadi resource mix yang
mempunyai produktivitas tinggi; Terakhir, Mempunyai kemampuan mengoptimalkan
sumberdaya yang tersedia dengan menggeser kegiatan yang berproduktivitas rendah
menuju yang tinggi.
Dalam kaitannya dengan pengembangan
pegawai maka langkah strategis yang mesti ditempuh seorang
pemimpin adalah menyediakan peluang
sebesar-besarnya bagi pegawai yang potensial untuk menggali
kretifitas dan inovasinya. Sementara untuk manajemen
organisasi perlu dilakukan perubahan organisasional mendasar seperti dinyatakan Osborne dan
Gaebler bahwa salah satu bentuk reformasi yang mungkin ditempuh guna
beradaptasi dengan era global sekarang adalah birokrasi kini mesti memiliki
jiwa entrepreneurship yang tinggi, yaitu kemampuan mencari cara baru guna
memaksimalkan produktivitas dan efektivitas. Di samping itu mengubah
penekanan dari top-down approach ke pendekatan yang lebih berorientasi kepada
kepentingan publik, mampu membangun jejaring untuk
meningkatkan kredibilitas kelembagaan.
Budaya Organisasi
Sekali lagi,
salah satu penyebab kurang berhasilnya reformasi administrasi untuk mendukung
penyelenggaraan tata pemerintahan karena Pemerintah tidak menaruh perhatian
yang serius terhadap perubahan tata kelola
pemerintahan budaya organisasi.
Budaya organisasi amat besar pengaruhnya pada keberhasilan dan mati hidup
sebuah organisasi. Karena itulah seharusnya pemimpin
organisasi bersedia mengeluarkan
dana untuk mengubah budaya organisasi agar selalu sesuai dengan lingkungannya yang harus selalu berubah
dengan cepat. Fakta menunjukan, birokrasi pemerintahan kurang memiliki perhatian terhadap perubahan lingkungan
karena dua alasan. Pertama, secara konseptual ketika Max Weber, sarjana
sosiologi Jerman merumuskan konsep birokrasi kira-kira 140 tahun yang lalu, organisasi
birokratis diasumsikan sebagai bentuk organsasi yang cocok untuk lingkungan
yang stabil dan untuk menjalankan tugas-tugas yang bersifat massif tetapi
redundant. Dengan demikian bentuk dan budaya organisasi harus berubah bila
tugas organisasi dan lingkungannya berubah.
Budaya
organisasi adalah semua ciri yang menunjukkan kepribadian suatu organisasi:
keyakinan bersama, nilai-nilai dan perilaku-perlaku yang dianut oleh semua
anggota organisasi. Budaya organisasi adalah tradisi yang sangat sukar
diubah. Dalam bukunya “Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi”,
Djokosantoso Mulyono mendifinisikan budaya organisasi sebagai “sistim nilai
yang diyakini oleh semua anggota organisasi, yang dipelajari, diterapkan dan
dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan
dapat dijadikan acuan berprilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan
organisasi yang telah ditetapkan”.
Nilai-nilai dan
perilaku yang diperlukan untuk penyelenggaraan pemerintahan amanah antara
lain adalah: demokratis, adil, costconsious, transparan, akuntabel.
Semuanya ini sebenarnya terangkum dalam konsep budaya FAST yang
disebarluaskan oleh Ary Ginandjar yaitu: fathonah, amanah, siddiq dan
tabligh.
Pada organisasi
baru, membangun budaya organisasi yang sesuai dengan misinya lebih mudah melakukannya.
Tetapi dalam organisasi kementerian dan lembaga non-departemen di pusat dan
dinas serta lembaga non-dinas di daerah, nilai dan perilaku sudah berkembang
menjadi tradisi yang sukar berubah. Peter Bijur (2001) menganggap syarat yang
paling utama untuk menjamin keberhasilan upaya perubahan budaya organisasi
adalah kepemimpinan yang kuat (strong leadership) baik dalam kemampuan
memimpin maupun dalam ketajaman visinya, ini yang menjadi kendala utama.
Selanjutnya, ada
5 faktor yang penting untuk mensukseskan perubahan budaya organisasi yaitu:
1. Nilai-nilai yang mendukung pencapaian visi yang
telah ditetapkan;
2. Motivasi yang mampu membangun
kerjasama serta memobiliasi
dukungan untuk perubahan;
3. Ide dan Strategi yang tepat untuk menciptakan
lingkungan yang mampu menyuburkan kebersamaan dalam perumusan ide-ide dan
strategi untuk mendorong perubahan;
4. Tujuan yang jelas serta selalu dikomunikasikan
kepada para anggota organisasi;
5. Etika kinerja yang ditumbuhkan dengan sistem
remunerasi dan penghargaan yang tepat.
Mungkinkah Tercipta Budaya Organisasi
Perubahan budaya
organisasi adalah ibarat perjalan panjang yang melelahkan dan merupakan upaya
yang bersifat incremental, tidak bisa melalui gebrakan revolusioner. Budaya
organisiasi paternalisitik dan sentralistik, misalnya, tidak serta merta berhasil
berubah dengan menjungkir balikkan pemerintah yang berkuasa, seperti yang
sedang dialami
selama beberapa tahun ini.
Organisasi yang ingin merubah
budayanya harus berani menempuh jalan yang tidak selalu lurus, dari kondisi
stabil, melalui turbulence atau bahkan chaos, untuk mencapai penyesuaian
dengan nilai-nilai, norma-norma, perilaku dan simbol-simbol budaya baru.
Organisasi harus disipkan untuk selalu adaptif terhadap perubahan-perubahan,
harus berani bereksperimen, harus berani gagal dan harus dapat menyesuaikan
diri dengan unsur-unsur budaya baru. Salah satu ciri
utama kehidupan di masa sekarang dan masa yang akan datang adalah terjadinya
perubahan yang sangat cepat di dalam lingkungan kehidupan manusia. Pola pikir
dan pola tindakan yang digunakan untuk menata kehidupan, baik kehidupan
individual maupun kehidupan organisasi yang pada waktu lalu dianggap sebagai
cara yang menghantarkan ke arah sukses, kini cara-cara yang sama bisa membuat
organisasi ketinggalan zaman.
Walaupun sudah
dilakukan dengan komitmen yang tinggi serta program yang benar, selalu ada
resiko perubahan budaya organisasi tidak berjalan seperti diharapkan, atau
dalam kasus
yang ekstrim
bertentangan dengan arah yang diinginkan. Perubahan budaya organisasi adalah
proses panjang dan mahal yang tidak ada jaminan akan sukses. Minimal
diperlukan waktu 5 sampai 10 tahun untuk merubah budaya organisasi dengan
sekala seperti Republik Indonesia atau pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Karena
itu strategi yang diajurkan oleh para ahli (Morgan, 1996 dan Toolpack, 2001) adalah perubahan secara
bertahap dan gradual. Memang kurang revolusioner, kurang radikal tetapi lebih
aman. Namun semuanya terletak pada pengaruh pemimpin
yang mampu mengelola soliditas tim.
Bayu Setiaji,2012, VP
Training Delivery PT Lutan Edukasi, Kompas, Sabtu, 14 April 2012
Djamaludin, 2012, Psikologi Kepemimpinan dan Inovasi, Penerbit
Erlangga
Indra Jaya Sihombing, Suara Merdeka Sabtu 5 Februari 2011,seri
komunikasi Bisnis,
Drs. Suranto, 2012, M.Pol. Menggagas Strategi Optimalisasi
Kapasitas Birokrasi Menuju Good Governance
PMII Komfaksyahum 2007, Membangun Budaya Birokrasi Untuk Good Governance
Lilin Budiati, DR-adalah seorang Widyaiswara pada Badan Diklat Provinsi Jawa Tengah dan pemerhati masalah pengembangan tim dan lingkungan hidup
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar