Rabu, 28 Agustus 2013

E-Book MENULIS PROPOSAL PENELITIAN MUDAH: Jurus Sukses menulis Proposal Penelitian mandiri tanpa Pembimbing


"Jika saat ini anda juga mengalami hal yang sama seperti kebanyakan mahasiswa lainnya, yaitu kesulitan dalam menulis proposal dan laporan penelitian, maka layaklah untuk memiliki E-Book ini".
  

E-Book setebal hampir 100 halaman ini berisi panduan praktis untuk umum dan mahasiswa dalam  penulisan ilmiah seperti Kertas Kerja, Karya Tulis, Skripsi, Thesis atau Disertasi.

Penulis mencoba menerjemahkan konsep-konsep yang ilmiah dan njlimet itu menjadi sebuah istilah dan cara yang praktis serta mudah diterapkan dalam Menulis Proposal dan Laporan Penelitian. Sehingga tanpa harus ribet, proposal dan atau laporan anda selesai tepat waktu, bahkan lebih awal!

Banyak yang mengeluhkan sulitnya menulis proposal dan laporan penelitian. Keluhan mereka yang mahasiswa reguler, lebih beragam dibanding mahasiswa yang sudah bekerja. Dari bagaimana  menyiapkan topik dan ide penelitian, tinjauan pustaka dan pencarian bahan dan buku sumber, jurnal ilmiah, metodologi penelitian dan analisis data statistik, konsultasi dengan pembimbing, mendesaknya batas waktu seminar dan pengumpulan laporan penelitian, tindak lanjut hasil koreksi dosen pembimbing maupun penguji serta kesiapan materi seminar. Belum lagi persoalan pemahaman tata tulis dan kemampuan menulisnya. Sedangkan mahasiswa karyawan yang non-reguler, keluhannya hampir seragam. Mereka mengeluhkan semua hal yang dikeluhkan mahasiswa reguler itu!

Pesan sekarang juga. Manfaatkan kesempatan PROMO. E-Book ini hanya dijual Rp 20.000,- (Dua puluh ribu rupiah) saja, dengan cara transfer ke Rekening BNI No. 025-234-7332 a.n. Bpk. Cokro Aminoto, SIP, M.Kes. Atau  transfer pulsa Rp 25.000,- ke 081-327-257-944 (hanya ke nomor ini)

Untuk pemesanan hubungi:
E-Mail: cokroaminoto2007@gmail.com atau 
HP081-12-606-529

Minggu, 30 Juni 2013

Reorientasi Kebijakan Desentralisasi


Oleh:

Pendahuluan
Reformasi tata pemerintahan telah menjadi agenda yang paling mendesak dewasa ini untuk menjawab berbagai tantangan di sektor publik. Namun, apapun yang dilakukan atas nama reformasi, diharapkan pemerintah senantiasa memegang teguh tiga prinsip yang berlaku. Pertama, harus ada responsive governance: pemerintah sedapat mungkin melakukan hal-hal yang benar (do the right things). Kekeliruan seringkali terjadi karena pemerintah melaksanakan hal-hal yang tidak benar menurut kacamata masyarakat. Dikatakan demikian karena acapkali pelayanan yang diberikan tidak sejalan dengan preferensi publik. Kedua, harus ada responsible governance: pemerintah harus mengerjakan dengan benar (do it right) hal-hal yang benar tersebut. Dengan kata lain, pengelolaan berbagai sumber daya, khususnya fiskal, harus dilakukan secermat mungkin. Ketiga, harus ada prinsip accountable governance, yakni pemerintah harus akuntabel kepada para pejabat terpilih (elected official). Hal ini karena para pejabat terpilih dicitrakan sebagai representrasi dari aspirasi masyarakat.
Ketika desentralisasi menjadi bagian integral dari paket reformasi sektor publik, sudah seharusnya proses implementasinya berlandaskan pada ketiga prinsip di atas. Pengabaian atau penelantaran terhadap satu diantara ketiga prinsip diatas akan kian menguatkan pandangan publik bahwa pemerintah turut menjadi a part of problem, bukan a part of solution dalam keseluruhan proses pembangunan. Dalam konteks inilah kemudian perlu ada kiat-kiat jitu untuk menata struktur, peran, fungsi, dan kewenangan setiap level pemerintah dalam mendukung kemajuan sosial.
Dikaitkan dengan gelombang reformasi di berbagai belahan dunia, setidak-tidaknya berbagai upaya yang dilakukan konvergen pada satu kesimpulan yakni harus ada transfer tanggung jawab dan sumber daya dari pemerintah pusat kepada daerah. Hal ini demi mendukung tercapainya nilai-nilai demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance). Desentralisasi pun kemudian menjadi tool terbaik untuk membawa pemerintah lebih dekat kepada warga negara, memperbaiki pembuatan keputusan publik, dan memberikan pelayanan publik secara lebih efektif.
Permasalahan
Ketika Indonesia memasuki Orde Reformasi, spirit untuk menerapkan desentralisasi dan otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggung jawab kian nyata seiring dengan diimplementasikannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Tak berselang lama dilakukan revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah dengan mengganti kedua undang-undang tersebut dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah[1].
Sayangnya, setelah lebih dari 10 tahun desentralisasi dan otonomi daerah diimplementasikan ternyata tujuan utamanya yakni untuk menyejahterakan daerah melalui pemerataan belum tercapai. Bahkan angka disparitas ekonomi antar daerah telah sedemikian dalam jurangnya (Kompas, 22 Mei 2009). Berbagai permasalahan masih saja dijumpai diantaranya: 1) belum jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, 2) berbedanya persepsi para pelaku pembangunan terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, 3) masih rendahnya kerjasama antar pemerintah daerah, 4) belum terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif dan efisien, 5) masih terbatas dan rendahnya kapasitas aparatur pemerintah daerah, 6) masih terbatasnya kapasitas keuangan daerah, dan 7) pembentukan daerah otonom baru (pemekaran wilayah) yang masih belum sesuai dengan tujuannya.
Desentralisasi: Apa dan Mengapa?
Teorema desentralisasi (decentralization theorem) dipopulerkan oleh Oates (1972), berangkat dari suatu pemikiran bahwa “setiap pelayanan publik mestinya disediakan oleh yuridiksi tertentu yang memiliki kontrol atas wilayah geografi minimum yang akan menginternalisasi manfaat dan ongkos provisi tertentu.” Hal ini mengingat: a) pemerintah daerah memahami apa yang menjadi concernpenduduknya; b) pembuatan keputusan akan lebih responsif kepada pihak-pihak yang diberikan pelayanan, dengan demikian akan ada tanggung jawab anggaran dan efisiensi, khususnya apabila pendanaan pelayanan pun didesentralisasikan; c) layer-layer yang sekiranya tidak bermanfaat dapat dieliminir; dan d) kompetisi dan inovasi akan ada di antara berbagai yuridiksi. Disamping itu, pemerintah pusat tidak mungkin dapat mencapai keadilan sosial dan ekonomi masyarakat hanya dengan mengandalkan kapasitasnya sendiri. Pemerintah yang inovatif, karenanya, berupaya semaksimal mungkin mentransfer kewenangan, risorsis, dan tanggung jawab kepada pemangku kepentingan di tingkat lokal sekaligus sebagai upaya membuka keran demokrasi di tingkat lokal yang kerap kali tersumbat oleh dominasi elit di tingkat pusat dan daerah. Dengan demikian tidak ada penelantaran terhadap berbagai aspirasi daerah dalam segenap proses pembangunan.
Teori yang menegaskan pentingnya desentralisasi di tingkat lokal dan peran yang kuat dari pemerintah daerah selalu menekankan pentingnya nilai-nilai efisiensi, akuntabilitas, dan otonomi. Stigler (1957), misalnya, mengedepankan 2 prinsip: 1) semakin dekat pemerintah yang representatif kepada masyarakat, semakin baik kinerja pemerintah tersebut; 2) publik berhak untuk memilih macam dan jumlah pelayanan publik yang diinginkannya. Kedua prinsip ini menegaskan bahwa pembuatan keputusan seharusnya mengambil tempatnya pada tingkat terendah pemerintah dengan tujuan agar tercapai efisiensi dalam alokasi barang dan jasa publik.
Kalau dilacak dari perkembangan historisnya, konsep desentralisasi mengalami pergeseran makna dan sasaran, dan bentuknya pun variatif sejalan dengan pergeseran paradigma yang dianut. Sesudah PD II, persisnya pada era 1970-an dan 1980-an, desentralisasi lebih dipahami sebagai dekonsentrasi struktur hirarki pemerintah dan birokrasi. Gelombang kedua, yakni pertengahan tahun 1980, pemahaman tentang desentralisasi diperluas hingga mencakup pembagian kekuasaan politik, demokratisasi, dan liberalisasi pasar yang memperluas pembuatan keputusan sektor privat. Pada akhir era 1980-an, berbagai pemerintah kemudian mengedepankan 3 bentuk utama desentralisasi: dekonsentrasi, devolusi, dan delegasi. Dekosentrasi dimaksudkan untuk menggeser tanggung jawab administrasi dari pusat kepada level regional dan lokal dengan menempatkan pejabat di daerah dan mentransfer kewenangan pembuatan keputusan kepada mereka. Devolusi ditujukan untuk memperkuat pemerintah daerah dengan cara dijaminnya kewenangan, tanggung jawab, dan risorsis untuk menyediakan pelayanan dan infrastruktur, melindungi kesehatan dan keamanan publik, serta merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan daerah. Sedangkan delegasi terjadi ketika pemerintah pusat menyerahkan kewenangan manajemen untuk fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi-organisasi semi otonomi dan badan usaha milik negara maupun lembaga-lembaga perencana daerah.
Sejalan dengan perluasan maknanya, desentralisasi kemudian terbagi menjadi empat bentuk: desentralisasi administrasi, politik, fiskal, dan ekonomi. Desentralisasi administrasi mencakup struktur dan birokrasi pemerintah pusat, delegasi kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada lembaga-lembaga pemerintah semi-otonomi, dan kooperasi lembaga-lembaga pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsi yang similar. Desentralisasi politik mencakup berbagai organisasi dan prosedur untuk meningkatkan partisipasi warga negara dalam menyeleksi para pejabat politik dan dalam pembuatan kebijakan publik, serta perubahan dalam struktur pemerintah melalui devolusi kekuasaan dan kewenangan kepada unit-unit pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal meliputi adanya berbagai sarana dan mekanisme baik terkait dengan fiscal cooperationfiscal delegation, dan fiscal autonomy. Sedangkan desentralisasi ekonomi mencakup liberalisasi pasar, deregulasi, privatisasi BUMN, dan dianutnya pola-pola kemitraan sektor publik-privat.
Pro dan Kontra Kebijakan Desentralisasi
Pandangan Pro Desentralisasi
Implementasi kebijakan desentralisasi di berbagai negara disikapi secara beragam oleh berbagai pihak. Bagi para pendukung kebijakan ini, desentralisasi diyakini membantu percepatan pembangunan ekonomi, meningkatkan akuntabilitas politik, dan meningkatkan partisipasi publik dalam tata pemerintahan. Desentralisasi juga dapat mendobrak bottleneck yang selama ini ada dalam birokrasi yang “terlalu” hirarkis dan menyederhanakan prosedur yang terlalu kompleks serta menjamin berbagai keputusan dibuat dan diimplementasikan secara lebih cepat. Disamping itu, desentralisasi dapat meningkatkan finansial pemerintah daerah dan padanya ada fleksibilitas untuk merespon secara lebih efektif berbagai kebutuhan dan tuntutan daerah[2].
Namun jelas tidaknya kebijakan desentralisasi sangat tergantung pada apakah seseorang mengamatinya dari atas ke bawah (top down) atau dari bawah ke atas (bottom up) (Bird, 2000). Jika dilihat dari perspektif bottom up, desentralisasi umumnya menekankan nilai politis – misalnya, perbaikan pemerintahan dalam kaitannya dengan kemauan menerima saran dan partisipasi politik lokal – dan efisiensi alokasi dalam arti perbaikan kesejahteraan. Hasilnya, dukungan yang lebih luas kepada pemerintah dan memperbaiki stabilitas politik. Permasalahan menjadi tidak begitu jelas ketika desentralisasi dilihat dari perspektif top down. Dasar pemikiran desentralisasi, misalnya, meringankan beban pusat dengan mengalihkan defisit (atau paling tidak sebagian dari tekanan politis atas defisit) ke bawah. Kriteria utama untuk mengevaluasi desentralisasi adalah seberapa baik hal ini dapat membantu tercapainya tujuan-tujuan kebijakan nasional.
Pernyataan di atas dipertegas kembali oleh Cheema (2005), bahwa desentralisasi dapat mendorong tercapainya nilai-nilai demokrasi dan good governance dalam beberapa cara. Pertama, tersedianya kerangka kerja bagi masyarakat pada level lokal untuk mengelola diri mereka sendiri dan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan lokal. Semakin tinggi tingkat partisipasi publik di tingkat lokal, makin tinggi pula derajat legitimasi politik pemerintah. Kedua, desentralisasi merupakan sarana (means) yang lebih efektif untuk meningkatkan akuntabilitas pemimpin politik dan birokrat. Sebagai konsekuensinya, ada perbaikan akses bagi publik terhadap pelayanan dan fasilitas yang diinisiasi oleh pemerintah. Ketiga, desentralisasi mendorong proses pelembagaan budaya demokrasi dengan cara memberikan ruang yang cukup bagi kelompok dan individu di tingkat lokal untuk membuat keputusan-keputusan politik dan anggaran. Kalau desentralisasi diterapkan secara cermat, praktis berbagai persoalan di birokrasi seperti red-tapedan kekakuan prosedur dapat direduksi dan birokrasi lebih mendasarkan dirinya pada keahlian, pengetahuan, dan pengalaman dari masyarakat lokal. Juga, kalau diterapkan secara lebih hati-hati, desentralisasi mempermudah arus pertukaran informasi di tingkat lokal. Keempat, dalam kaitannya dengan kemiskinan, desentralisasi menyiapkan kerangka kerja (framework) yang lebih baik untuk proses eradikasi kemiskinan. Kelima, desentralisasi mendorong terciptanya mekanisme check and balance di antara pemerintah pusat dan unit-unit pemerintah dan administrasi di tingkat daerah – suatu karakter kunci demokrasi dan tata pemerintahan yang baik. Keenam, transfer kewenangan dan risorsis dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan memberikan peluang yang cukup bagi warga negara lokal untuk memainkan peran secara langsung dalam proses pembangunan; sebagai katalis pembangunan dan proses perubahan, para warga negara di tingkat lokal dapat memutuskan skala prioritas berbagai pelayanan publik.
Dikaitkan dengan konteks governance, desentralisasi dipastikan akan meningkatkan kapasitas pemerintah daerah, sektor privat, dan organisasi masyarakat madani. Desentralisasi memberikan ruang yang lebih luas bagi representasi politik terhadap kelompok-kelompok politik, etnik, keagamaan, dan kultural tanpa menimbulkan destabilitasi negara. Desentralisasi kemudian menciptakan ketiga pilar institusi – pemerintah, sektor privat, dan organisasi masyarakat madani untuk bisa menjadi lebih kreatif dan inovatif dalam merespon kebutuhan-kebutuhan publik. Dalam negara yang desentralistis, terjadi perimbangan pembangunan antar daerah, memberdayakan masyarakat, dan memobilisasi sumber daya privat untuk pembangunan berbagai fasilitas dan infrastruktur. Karenanya, desentralisasi harus dipahami sebagai sebuah instrumen untuk membangun kapasitas institusi di dalam pemerintah daerah dan organisasi masyarakat madani demi mencapai Millennium Development Goals.
Pandangan Kontra Desentralisasi
Meskipun memiliki manfaat seperti dikemukakan di atas, mewujudkan konsep desentralisasi dalam tata pemerintahan yang demokratis tidak selamanya berjalan mulus atau tanpa hambatan. Disamping banyak manfaat yang bisa dipetik, dalam desentralisasi tersemai beberapa persoalan pokok. Di banyak negara berkembang, desentralisasi berpotensi meningkatkan elit capture dalam pemerintah daerah. Pemerintah daerah tidak mampu meningkatkan risorsis finansial yang memadai untuk menunjang pelayanan secara lebih efektif. Disamping itu, disparitas ekonomi dan sosial menjadi lebih menganga serta korupsi dan nepotisme di tingkat daerah tumbuh secara masif[3].
Dalam konteks fiskal, misalnya, tak satu pun dari manfaat-manfaat seperti yang dikemukakan terdahulu akan berhasil dicapai oleh negara yang preferensi penduduknya hampir tidak mungkin diakomodasi dalam anggaran pemerintah, dan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah mendekati nihil (Bird & Vaillancourt, 2000). Dari perspektif ini, desentralisasi cenderung meningkatkan biaya, mengurangi efisiensi pelayanan pemerintah, dan mungkin akan menyebabkan kesenjangan yang lebih parah serta terjadinya ketidakstabilan makroekonomi (Prud’hommme, 1995).
Sejumlah temuan juga menunjukkan pengaruh desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi, partisipasi publik[4], dan pemberian layanan publik. Meskipun desentralisasi seringkali dikaitkan dengan argumentasi allocative-efficiency, temuan empiris menunjukkan hubungan yang terbalik antara desentralisasi dan variabel pembangunan[5]. Beberapa studi bahkan tidak menemukan keterkaitan langsung antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi. Bahkan beberapa studi lain kian menegaskan bahwa desentralisasi fiskal justru membuat pertumbuhan ekonomi menjadi lebih lambat dan ketimpangan fiskal menjadi lebih besar[6]. Hal ini ditopang dengan adanya indikasi yang kuat bahwa desentralisasi cenderung meningkatkan pengeluaran infrastruktur publik namun memiliki skala ekonomi yang kecil[7].
Terlepas dari adanya pro dan kontra, seperti yang dikemukakan pada awal bagian tulisan ini, sejauh ini banyak negara masih memandang desentralisasi sebagaitool terbaik untuk mendekatkan pelayanan kepada publik sebagai penerima manfaat. Tinggal bagaimana kemudian pemerintah dan masyarakat mampu mengawal proses desentralisasi agar berjalan di trek yang tepat sesuai dengan disain kebijakan yang semula dibuat oleh para perumus kebijakan.
Desentralisasi: Pengalaman di Indonesia
Ditinjau dari aspek histori, otonomi daerah dikenalkan sejak tahun 1903. Namun pengakuan secara legal formal untuk kali pertama pemberlakuan otonomi daerah persis ketika pembentukan Komite Nasional Daerah (KND) untuk mewujudkan politik desentralisasi. Berikutnya, KND berubah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD). Bersama-sama dengan pemimpin daerah, BPRD menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerah.
Pada tanggal 23 November 1945, pemerintah mengeluarkan UU No. 1 tahun 1945 yang berlaku di seluruh Indonesia. Dengan UU ini, pemerintah menjalankan politik desentralisasi dan memberikan hak otonomi kepada daerah walaupun politik dekonsentrasi dilaksanakan pula. Namun, kebimbangan muncul ketika otonomi daerah dijalankan tidak jelas. Dengan UU ini, kedudukan kepala daerah sangat kuat. Tidak sekadar berwenang mengatur rumah tangga daerah bersama dengan BPRD, ia sekaligus perpanjangan tangan pemerintah pusat.
Hampir 3 tahun diberlakukan, pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 22 tahun 1948. Dalam UU ini, otonomi daerah dipahami dari dua aspek. Pertama, otonomi penuh, yakni penyerahan penuh hak otonomi, tak terbatas pada kewenangannya, tetapi juga pada pelaksanaannya. Kedua, otonomi tidak penuh, yang dikenal sebagai tugas pembantuan (medebewind). Namun UU ini tidak bisa dilaksanakan sepenuhnya di seluruh wilayah NKRI karena masih dalam suasana perang. Selain itu, tidak semua orang mendukung persamaan perlakuan pada pemerintahan daerah.
Setelah suasana relatif stabil, pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 1 tahun 1957. UU ini diperkuat dengan UU No. 6 tahun 1959 untuk menghilangkan korps pamong praja yang menjalankan pemerintahan umum. Namun, semangat ini tak dapat sepenuhnya terwujud. Kepala daerah tetap menjadi alat daerah dan alat penguasa sekaligus.
Pemerintahan ORLA memang banyak menghasilkan dan mengubah UU tentang otonom daerah. Ini dilandasi oleh keinginan untuk menghargai pluralisme daerah yang membentuk NKRI. Pada tahun 1965 kemudian disempurnakan dengan UU No. 18 tahun 1965. UU ini memberikan keleluasaan kepala daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, bahkan bisa diberikan kewenangan lebih oleh pemerintah pusat.
Pada jaman ORBA, melalui Ketetapan No. IV/TAP MPR/1973, prinsip otonomi seluas-luasnya sebagaimana tertuang dalam Ketetapan No. XXI/MPR/1966 diubah menjadi otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Hal ini kemudian menjadi acuan dalam pembentukan UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini bertekad mewujudkan otonomi daerah yang mengancam ketahanan politik. UU ini meniitikberatkan pelaksanaan Otda pada daerah tingkat II (kabupaten/kota) seperti yang dilanjutkan dengan UU lain pada era Reformasi yaitu UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004. Dalam UU No. 5 tahun 1974, pelaksanaan Otda berdasarkan asas desentralisasi dan dilaksanakan bersama dengan dekonsentrasi. Namun, yang nyata dirasakan adalah sentralisasi dalam pelaksanaan administrasi Pemerintah Indonesia. Keberagaman di daerah hampir tak terwadahi.
Secara ringkas dapat dilihat pada tabel berikut:
UU terkait dengan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
1
UU No. 1 tahun 1945 tentang Peraturan mengenai Komite Nasional Daerah
2
UU No. 22 tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
3
UU Negara Indonesia Timur No. 44 tahun 1950
4
UU No. 1 tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
5
UU No. 6 tahun 1959 tentang Penyerahan Urusan Pemerintahan Umum kepada Daerah Otonom
6
UU No. 18 tahun 1965 tentang Desentralisasi
7
UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah
8
UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
9
UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
10
UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
11
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
12
UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Perlunya Pergeseran Paradigma dari Government Decentralization keDecentralized Governance
Sejalan dengan pergeseran paradigma dari pemerintah (government) kepada tata pemerintahan (governance), telah terjadi reorientasi makna desentralisasi itu sendiri. Desentralisasi tidak sekadar dilihat sebagai transfer kewenangan di dalam institusi pemerintah (government decentralization), tetapi juga harus dipahami secara luas sebagai pembagian kekuasaan, kewenangan, dan tanggung jawab di antara berbagai institusi tata pemerintahan (decentralized governance) (Cheema and Rondinelli, 2007).
UNDP menggunakan istilah decentralized governance untuk menggambarkan adanya pembagian kekuasaan, kewenangan, dan tanggung jawab di antara pilar-pilar tata pemerintahan (pemerintah, privat, dan publik). Dalam konteks ini, desentralisasi kemudian mencakup: 1) vertical decentralization atau desentralisasi dari pusat kepada daerah; dan 2) horizontal decentralization atau pembagian kekuasaan, kewenangan, dan tanggung jawab bersama dengan sektor privat dancivil society. Desentralisasi horisontal dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat di tingkat lokal untuk menentukan rencana, mengelola, dan mengimplementasikan berbagai kebijakannya (Kauzya, dalam Rondinelli, 2003).
Dengan demikian, menjadi sangat relevan kemudian perlu ada penguatan kapasitas tata kelola daerah (local governance). Namun sebelumnya perlu dilakukan analisis stakeholders. Seperti diketahui bersama, di dalam tata kelola daerah, ada beragam pemangku kepentingan dalam sektor publik, sektor privat,civil society, dan lembaga donor baik pada level lokal, regional, nasional, maupun internasional.
Namun pemerintah daerah sebagai ujung tombak dari tata kelola daerah harus memainkan perannya secara proporsional. Peran ini dapat ditinjau dari beberapa perspektif. Pertama, pemerintah daerah lebih dilihat sebagai buatan tangan (haindmaden) dari suatu tata pemerintah yang lebih tinggi. Dalam kebanyakan pemerintah federal seperti di Kanada dan Amerika Serikat, pemerintah daerah merupakan perluasan dari pemerintah negara bagian (state governments). Pengembangan kebijakan dan standar kinerja dan pelayanan ditentukan pada level nasional. Disamping itu, pengawasan proses implementasi dilakukan pada level negara bagian (state). Juga, pelayanan disediakan oleh pemerintah daerah atau oleh pemerintah regional.
Kedua, pemerintah daerah adalah fasilitator independen yang memikul tanggung jawab untuk menciptakan nilai publik (public value). Hal ini terutama jika dilihat dari perspektif New Public Management (NPM). Dua kriteria yang ada dalam perspektif ini yaitu: 1) apa yang seharusnya dikerjakan oleh pemerintah; dan 2) bagaimana ia mengerjakannya dengan lebih baik.
Ketiga, pemerintah daerah merupakan suatu institusi yang lebih mengedepankan kepentingan sendiri. Pandangan ini terutama dilihat dari the public choice theory. Bailey (1999) kemudian mengembangkan 4 model pemerintah daerah: 1)the benenvolent despot model, yakni suatu pemerintah daerah paham bagaimana cara dan tindakan terbaik untuk memaksimalkan kesejahteraan penduduknya; 2)the fiscal exchange model, suatu pemerintah daerah menyediakan pelayanan yang konsisten dengan kemampuan penduduknya untuk membayar; 3) the fiscal transfer model, suatu pemerintah daerah yang berfokus pada penyediaan pelayanan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial; dan 4) the leviathan model, yakni pemerintah daerah terjebak oleh politisi dan birokratnya yang cenderung mengutamakan kepentingan pribadinya, dan ini sejalan dengan perspektif public choice.
Apa yang Harus Disiapkan?
Setiap entitas dalam tata pemerintahan perlu menyadari bahwa meskipun menggunakan format desentralisasi yang sama, derajat kesuksesan yang dicapai bisa berbeda-beda oleh setiap pemerintah daerah. Perbedaan ini terjadi karena sistem dan mandat dalam setiap tingkatan pemerintah bisa saja berbeda satu dengan yang lain. Bisa juga derajat desentralisasi politik dan legitimasi dari akar rumput di setiap daerah berbeda. Perbedaan kinerja desentralisasi juga karena setiap otoritas lokal memiliki derajat otonomi yang berbeda khususnya terkait dengan penerimaan dan pengeluaran daerah. Apalagi terdapat perbedaan kapasitas fiskal setiap daerah untuk menunjang pelayanan kepada publik.
Dalam penelitiannya di Meksiko, Merilee Grindle menganalisa derajat penerimaan berbagai pemerintah daerah terhadap tanggung jawab dan risorsis yang diserahkan oleh pemerintah pusat. Ia kemudian mengkaji dampak dari 4 faktor – kompetisi politik, kapasitas pemimpin politik untuk memobilisasi sumber daya, pengenalan metode baru dan keahlian administrasi publik, dan tuntutan dan partisipasi masyarakat madani – pada kapasitas pemerintah daerah untuk menjalankan amanah secara lebih efisien, efektif, dan responsif.
Terkait dengan implementasi kebijakan desentralisasi di beberapa negara (Philipina, Uganda, Brazil, dan Indonesia), ada beberapa pelajaran yang bisa ditarik dari pengalaman yang ada. Pertama, berkenaan dengan lingkungan politik dan kerangka legal nasional. Faktor ini turut memengaruhi bentuk dan isi (content) kebijakan desentralisasi. Devolusi politik kepada pemerintah akan menjadi terhambat apabila sistem politik masih menyimpan benih-benih otoritarian. Juga yang tidak pentingnya adalah karakteristik struktur kekuasaan daerah dan sejauh mana penerima manfaat (beneficiaries) di tingkat lokal terkelola dengan baik. Di beberapa negara seperti Pakistan, Brazil, dan Afrika Selatan, ketidakmerataan kepemilikan tanah di pedesaan menyebabkan terjadinya dominasi dalam pembuatan keputusan politik dan ekonomi. Dalam lingkungan tertentu, otonomi politik dan ekonomi lokal berubah menjadi kontrol – lambat laun menjadi tirani – oleh elit-elit lokal.
Kedua, berkenaan dengan fungsi dan risorsis yang dimiliki pemerintah daerah. Salah satu pembagian fungsi dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah adalah adanya keuntungan kompetitif (competitive advantage) yang diterima dari penyediaan pelayanan tertentu. Ada semacam kebutuhan bersama bagi keduanya agar pelayanan tertentu yang diberikan oleh pusat mampu menangkap apa yang menjadi preferensi dan prioritas setiap pemerintah daerah, dan bahwa inisiatif yang digagas harus mampu menjamin pemerataan antar wilayah melalui paket-paket kebijakan redistribusi. Distribusi fungsi dan tanggung jawab memang perlu namun tidak cukup untuk menciptakan kemitraan yang efektif diantara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah daerah pun memerlukan risorsis yang proporsional dengan tanggung jawab yang ada padanya. Disini kemudian mekanisme transfer dari pemerintah pusat kepada daerah bisa menjadi tool yang esensial.
Ketiga, perlunya akuntabilitas pemerintah daerah dan kelompok politik.Seberapa jauh derajat akuntabilitas pemerintah daerah kepada konstituennya merupakan suatu parameter keberhasilan kebijakan desentralisasi. Parameter lainnya adalah aturan-aturan elektoral yang memungkinkan partisipasi dan representasi, keterlibatan aktif dari civil society dalam proses politik lokal, serta sistem administrasi di daerah yang berjalan efektif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat daerah.
Keempat, perlunya penguatan kapasitas pada level pusat. Agar proses implementasi kebijakan desentralisasi sampai di tujuannya, pemerintah pusat perlu menyiapkan panduan dan pelatihan untuk mendukung pemerintah daerah. Manakala kapasitas pemerintah pada level pusat diragukan, besar kemungkinan proses desentralisasi yang begitu cepat tidak akan mencapai sasarannya. Kapasitas di sini misalnya mengawal Undang-undang dan peraturan lainnya, penyediaan pelayanan sosial, pembuatan sistem dan proses yudisial, serta pengelolaan sumber daya alam.
Kelima, perlunya kapasitas administrasi di tingkat daerah. Ada kecenderungan bahwa pemerintah lebih mengedepankan desentralisasi dalam pembuatan keputusan maupun manajemen dan administrasi dengan sedikit menaruh perhatiannya pada kapasitas pemerintah daerah dalam melaksanakan kewenangan dan fungsinya. Di satu sisi, banyak pemerintah daerah mendapatkan keuntungan dari kebijakan ini karena mereka memiliki kapasitas dan risorsis yang memadai, sementara di sisi lain, banyak pemerintah daerah terjebak dalam kondisi yang mengkhawatirkan karena keterbatasan kapasitas dan sumber daya. Kalau ini dipaksakan, lambat laun akan terjadi kesenjangan (gap) yang luar biasa antara satu wilayah dengan wilayah lain.
Keenam, perlunya peran yang kuat dari masyarakat madani dancommunity-based groups. Peran vital dimainkan oleh organisasi berbasis masyarakat maupun civil society dalam konteks desentralisasi. Asosiasi petani, kelompok-kelompok muda, dan organisasi perempuan, misalnya, dapat meningkatkan dukungan lokal dan intervensi pemerintah. Disamping itu, mereka juga memainkan peran sebagai penjaga kepentingan publik di tingkat lokal. Mereka diharapkan mampu memperbaiki akses publik kepada pelayanan dasar, meningkatkan kesadaran publik mengenai berbagai inisiatif yang diambil pemerintah daerah, dan pada kasus tertentu, memberikan pelayanan secara langsung kepada kaum miskin.
Ketujuh, berkaitan dengan kepemimpinan lokal. Kepemimpinan lokal tidak hanya berkaitan dengan pemerintah daerah, tetapi juga kepemimpinan dalamcivil society dan sektor privat. Mereka diharapkan menjadi consensus builderantara masyarakat dan pemerintah daerah dan menjadi mediator bagi pemerintah pusat dan lembaga donor internasional.
Penutup
Desentralisasi merupakan suatu cara untuk lepas dari jerat-jerat pemerintahan yang tidak efektif dan tidak efisien. Namun harus dipahami sedari awal bahwa desentralisasi bagaikan bumerang. Kalau digunakan secara benar, desentralisasi akan tepat sasaran dan seluruh elemen pemerintahan akan menikmati kemakmuran. Sebaliknya, jika meleset, bumerang akan menghantam stabilitas nasional dan justru akan memperparah kondisi awal.
Perlu disadari pula bahwa desentralisasi bukanlah menjadi panacea untuk ”semua” inefektivitas dalam tata pemerintahan. Pun tidak ada jaminan bahwa berhasilnya implementasi desentralisasi di suatu negara akan membawa keberhasilan di wilayah atau negara yang lain. Sekalipun menggunakan format yang sama dalam suatu negara, derajat keberhasilan implementasi kebijakan desentralisasi bisa saja variatif di berbagai daerah. Hal ini tergantung pada kapasitas pemerintah pusat dan daerah dan sejauh mana mereka memandang kebijakan desentralisasi itu sendiri.
Dari pola umum yang terbentuk, banyak negara lalai dalam memperhatikan rambu-rambu yang menjadi prakondisi bagi implementasi desentralisasi. Pengalaman di berbagai negara berkembang menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi membutuhkan kombinasi faktor yang jitu, waktu yang tepat, serta tingkat eksperimentasi tertentu. Sulit untuk bisa mengatakan bahwa proses implementasi kebijakan desentralisasi akan berhasil jika tidak ada kepemimpinan politik yang committed dan tangguh baik di level pusat maupun daerah. Dukungan yang kuat pun harus ada dari para pejabat lini di tingkat birokrasi pusat. Kebijakan desentralisasi hanya akan berjalan secara efektif jika kebijakan didisain secara tepat dan para pejabat di tingkat daerah mau jujur dan kompeten. Disamping itu, para pemimpin di tingkat nasional harus memandang proses pemberdayaan di tingkat daerah lebih sebagai suatu manfaat ketimbang ancaman.
Bagaimanapun juga, kebijakan desentralisasi jangan sampai menghasilkan local capture – korupsi, karena kalau ini yang terjadi, dipastikan tidak ada keputusan-keputusan yang responsif (dan manfaat-manfaat efisiensi). Karenanya, harus ada partisipasi luas dari setiap pemangku kepentingan dalam pembuatan keputusan di tingkat lokal. Bagi pemerintah, sudah saatnya untuk bisa memelihara kondisi sosial, kultural, politik, dan faktor institusional lainnya demi tercapainya sasaran dari kebijakan desentralisasi itu sendiri.
Daftar Pustaka
Adams, Brian E. Citizen Lobbyists: Local Efforts to Influence Public Policy. Temple University Press. 2007.
Behn, Robert D. Rethinking Democratic Accountability. The Brookings Institution. 2001.
Bird, Richar M. dan Francois Vaillancourt. 2000. Fiscal Decentralization in Developing Countries. Ed. Terj. PT. Gramedia Pustaka Utama. 2000.
Cheema, G. Shabbir and Dennis A. Rondinelli (Ed.). Decentralizing Governance: Emerging Concepts and Practices. Harvard University and Brookings Institution Press. 2007.
Cheema, G. Shabbir. Building Democratic Institutions: Governance Reform in Developing Countries. Kumarian Press, 2005.
Kettle, Donald F. The Global Public Management Revolution. The Brookings Institution. 2005.
Rondinelli, Dennis A. and G. Shabbir Cheema. Reinventing Government for the Twenty-First Century. Kumarian Press. 2003.
Shah, Anwar (Ed.). Local Governance in Developing CountriesThe World Bank. Washington, D.C. 2007. 
Rondinelli, Dennis A. (Ed.). Public Administration and Democratic Governance: Governments Serving Citizens. United Nation. 2007.

Surat Kabar:
Kompas, Jumat 22 Mei 2009.








[1] Sejak tahun 1999 hingga 2004 kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah menghasilkan 7 provinsi, 114 kabupaten, dan 27 kota baru. Sampai tahun 2007 jumlah kabupaten baru telah mencapai 158 buah, dan diperkirakan lebih dari 100 lokalitas sedang dalam proses pemekaran menjadi kabupaten baru.

[2] Dennis A. Rondinelli, “Financing the Decentralization of Urban Services in Developing Countries: Administrative Requirements for Fiscal Improvements,”Studies in Comparative International Development 25, no. 2 (1990).
[3] R. Fisman and R. Gatti, “Decentralization and Corruption: Evidence across Countries,” Journal of Public Economics 83 (2002).
[4] Menurut Adams (2007), partisipasi warga negara dalam pembuatan kebijakan lokal dapat ditinjau dari 4 pendekatan yakni warga negara sebagai: 1)watchdogs; 2) collaborative problem solvers; 3) lobbyist; 4) pawns; dan 5)ideological activist.
[5] Jorge Martinez-Vazquez and Ronald M. McNab, “Fiscal Decentralization and Economic Growth,” World Development 31, no. 9 (2003).
[6] H. Davoodi and H. F. Zou, “Fiscal Decentralization and Economic Growth: A Cross-Country Study,” Journal of Urban Economics 43 (1998).
[7] A. Estache and S. Sinha, “Does Decentralization Increase Public Expenditure in Infrastructure?” Policy Research Working Paper 1457, World Bank, 1995.

Rabu, 26 Juni 2013

Kepemimpinan Transaksional dan Kepemimpinan Transformasional


Oleh :
Dwi Ari Wibawa, SIP, M.M*)


I. Kepemimpinan
Teh  Botol  Sosro  harus  bersaing  dengan  Coca  Cola  yang  berskala  global.  Ayam
goreng  Ny.  Suharti,  Mbok  Berek,  Ayam  Bakar Wong  Solo, harus bersaing  dengan
McDonald dan Kentucky Fried Chicken. Tukang parkir pinggir jalan harus ‘bersaing’
dengan  Secure  Parking.  Tukang  cuci  mobil  dan  tukang  sayur  pun  juga  harus
bersaing dengan merek global. Intinya persaingan global telah ada di  hadapankita,
yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Situasi  global  yang  kompetitif  ini,  mengharuskan  perusahaan  mempunyai
kemampuan  bertahan  dan  menang.  Namun,  strategi  yang  bagus  saja tidaklah
memadai.  Seorang  pemimpin  yang  handal  dibutuhkan  oleh  perusahaan.  Karena
seorang  pemimpin yang handal bukan saja harus piawai dalam menyusun strategi,
tetapi  juga  dapat  menjalankan  strategi  dengan  efektif.  Karena  pemimpinlah  yang
akan  melahirkan  strategi  dan  sekaligus  berupaya  keras  agar  dapat  mewujudkan
strategi itu.

Dalam  pandangan  (Anthony  &  Govindarajan,  2003)  s etiap  organisasi  terdiri
dari elemen-elemen atau bagian yang telah ditentukan fungsi-fungsinya, untuk saling
bekerjasama dan saling mempengaruhi, dan tidak ada yang lebih dominan atau lebih
utama dari sebagian yang lain, kecuali harus terkoordinasi dalam tujuan-tujuan yang
telah ditentukan. Untuk bekerjanya sebagai sebuah sistem, organisasi dipimpin oleh
hierarki  manajer,  dengan  Chief  Executive  Officer  (CEO)  pada  posisi  puncak,  dan
para  manajer  unit  bisnis,  departemen,  bagian  (section)  dan  subunit  lainnya  yang
peringkatnya berada dibawahnya dalam suatu diagram organisasi.
Kepemimpinan  oleh  Kenneth  H.  Blanchard  (Wahjosumidjo,  1985)  adalah
proses  dalam  mempengaruhi  kegiatan-kegiatan  seseorang  atau  kelompok  dalam
usahanya  mencapai tujuan  dalam  situasi tertentu.  Tanpa kepemimpinan  organisasi
hanya  merupakan  kelompok  manusia  yang  kacau  tidak  teratur  dan  tidak  akan
melahirkan perilaku bertujuan (Keith Davis dalam Sudarwan, 2004 : 18)

Menurut  Emil  H.  Tambunan  kepemimpinan  merupakan  kegiatan
mempengaruhi orang lain supaya mereka dapat bekerjasama mencapai tujuan yang
diinginkan. Kepemimpinan adalah kesanggupan yang dipunyai oleh seseorang untuk
mempengaruhi  sikap  dan  perilaku  orang  lain  menurut  kepemimpinannya.  Hal  ini
berarti  bahwa  seseorang  yang  sanggup  mengarahkan  atau  mempengaruhi  orang
lain pada satu posisi yang berfungsi sebagai seorang pemimpin.
Warren Bennis dalam bukunya “Leader, The Strategies for Taking Change”,
menyatakan  kepemimpinan  perlu  untuk  menolong  organisasi,  mengembangkan
pendangan  baru,  bagaimana  supaya  mereka  dapat  maju,  kemudian  memobilisasi
perubahan organisasi menuju pandangan baru.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi.
Pertama,    kepemimpinan  berarti  melibatkan  orang  atau  pihak  lain,  yaitu  para
karyawan  atau  bawahan  (followers).  Para  karyawan  atau  bawahan  harus  memiliki
kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya
karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.
Kedua,  seorang  pemimpin  yang  efektif  adalah  seseorang  yang  dengan
kekuasaannya  (his or her power) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai
kinerja yang memuaskan.

Menurut  French  dan  Raven  (1968),  kekuasaan  yang  dimiliki  oleh  para  pemimpin
dapat bersumber dari:
  Reward  power,  yang  didasarkan  atas  persepsi  bawahan  bahwa  pemimpin
mempunyai  kemampuan  dan  sumberdaya  untuk  memberikan  penghargaan
kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahan pemimpinnya.
  Coercive  power,  yang  didasarkan  atas  persepsi  bawahan  bahwa  pemimpin
mempunyai  kemampuan  memberikan  hukuman  bagi  bawahan  yang  tidak
mengikuti arahan-arahan pemimpinnya
 Legitimate power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin
mempunyai hak untuk menggunakan pengaruh dan otoritas yang dimilikinya.
  Referent  power,  yang  didasarkan  atas  identifikasi  (pengenalan)  bawahan
terhadap sosok pemimpin. Para pemimpin dapat menggunakan pengaruhnya
karena karakteristik pribadinya, reputasinya atau karismanya.
  Expert  power,  yang  didasarkan  atas  persepsi  bawahan  bahwa  pemimpin
adalah seeorang yang memiliki kompetensi dan mempunyai keahlian dalam
bidangnya.

Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang
berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi.
Ketiga, kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri ( integrity), sikap
bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian
bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan
orang  lain  (confidence)  dan  kemampuan  untuk  meyakinkan  orang  lain
(communication) dalam membangun organisasi.

Kepemimpinan transformasinal dan Transaksional.

Banyak  studi  mengenai  kecakapan  kepemimpinan  (leadership  skills)  yang
dibahas  dari  berbagai  perspektif  yang  telah  dilakukan  oleh  para  peneliti.  Analisis
awal  tentang  kepemimpinan,  dari  tahun  1900-an  hingga  tahun  1950-an,
memfokuskan perhatian pada perbedaan karakteristik antara pemimpin (leaders) dan
pengikut/karyawan (followers). Karenanyahasil penelitian pada saat periode tersebut
menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun sifat atau watak (trait) atau kombinasi
sifat  atau  watak  yang  dapat  menerangkan  sepenuhnya  tentang  kemampuan  para
pemimpin,  maka  perhatian  para  peneliti  bergeser  pada  masalah  pengaruh  situasi
terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin.
Studi-studi  kepemimpinan  selanjutnya  berfokus  pada  tingkah  laku  yang
diperagakan  oleh  para  pemimpin  yang  efektif.  Untuk  memahami  faktor-faktor  apa
saja  yang  mempengaruhi  tingkah  laku  para  pemimpin  yang  efektif,  para  peneliti
menggunakan model  kontingensi  (contingency  model).  Dengan  model  kontingensi
tersebut  para  peneliti  menguji  keterkaitan  antara  watak  pribadi,  variabel-variabel
situasi dan keefektifan pemimpin.
Studi-studi tentang  kepemimpinan  pada  tahun  1970-an dan 1980-an,  sekali
lagi memfokuskan perhatiannya kepada karakteristik individual para pemimpin yang
mempengaruhi keefektifan mereka dan keberhasilan organisasi yang mereka pimpin.
Hasil-hasil  penelitian  pada  periode  tahun  1970-an  dan  1980-an  mengarah  kepada
kesimpulan  bahwa  pemimpin  dan  kepemimpinan  adalah  persoalan  yang  sangat
penting  untuk  dipelajari  (crucial),  namun  kedua  hal  tersebut  disadari  sebagai
komponen organisasi yang sangat komplek.

Kepemimpinan transaksional dan transformasional dikembangkan oleh Bass
(1985)  bertolak  dari  pendapat  Maslow  tentang  tingkatan  kebutuhan  manusia.
Menurut teori hierarki kebutuhan tersebut, kebutuhan bawahan lebih rendah seperti
kebutuhan fisik, rasa aman dan pengharapan dapat terpenuhi dengan baik melalui
penerapan  kepemimpinan  transaksional.  Namun,  aktualisasi  diri,  menurut  hanya
dimungkinkan terpenuhi melalui penerapan kepemimpinan transformasional.

a.  Kepemimpinan Transformasional ( Transformational Leadership)
Model  kepemimpinan  transformasional  merupakan  model  yang  relatif  baru
dalam studi-studi  kepemimpinan.  Model  ini  dianggap  sebagai  model  yang  terbaik
dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional
mengintegrasikan  ide-ide  yang  dikembangkan  dalam  pendekatan  watak,  gaya  dan
kontingensi.  Burns  (1978)  merupakan  salah  satu  penggagas  yang  secara  eksplisit
mendefinisikan  kepemimpinan  transformasional.  Menurutnya,  untuk  memperoleh
pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model
ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional.
Kepemimpinan  transaksional  didasarkan  pada  otoritas  birokrasi  dan
legitimasi  di  dalam  organisasi.  Pemimpin  transaksional  pada  hakekatnya
menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan
para  bawahannya  untuk  mencapai  tujuan  organisasi.  Disamping  itu,  pemimpin
transaksional  cenderung  memfokuskan  diri  pada  penyelesaian  tugas-tugas
organisasi.  Untuk  memotivasi  agar  bawahan  melakukan  tanggungjawab  mereka,
para  pemimpin  transaksional  sangat  mengandalkan  pada  sistem  pemberian
penghargaan dan hukuman kepada bawahannya.
Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional
pada  hakekatnya  menekankan  seorang  pemimpin  perlu  memotivasi  para
bawahannya  untuk  melakukan  tanggungjawab  mereka  lebih  dari  yang  mereka
harapkan.  Pemimpin  transformasional  harus  mampu  mendefinisikan,
mengkomunikasikan  dan  mengartikulasikan  visi  organisasi,  dan  bawahan  harus
menerima  dan  mengakui  kredibilitas  pemimpinnya.  Hater  dan  Bass  (1988)
menyatakan  bahwa  "the  dynamic  of  transformational  leadership  involve  strong
personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or going
beyond the self-interest exchange of rewards for compliance".
Dengan  demikian,  pemimpin  transformasional  merupakan  pemimpin  yang
karismatik dan mempunyai peran sentral dan  strategis dalam membawa organisasi
mencapai  tujuannya.  Pemimpin  transformasional  juga  harus  mempunyai
kemampuan  untuk  menyamakan  visi  masa  depan  dengan  bawahannya,  serta
mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang
mereka butuhkan.

Menurut  Yammarino  dan  Bass  (1990),  pemimpin  transformasional  harus
mampu  membujuk  para  bawahannya  melakukan  tugas-tugas  mereka  melebihi
kepentingan  mereka  sendiri  demi  kepentingan  organisasi  yang  lebih  besar.
Yammarino  dan  Bass  (1990)  juga  menyatakan  bahwa  pemimpin  transformasional
mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan
dengan  cara  yang  intelektual,  dan  menaruh  parhatian  pada  perbedaan-perbedaan
yang dimiliki oleh bawahannya.

Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna (1990),
keberadaan  para  pemimpin  transformasional  mempunyai  efek  transformasi  baik
pada  tingkat  organisasi  maupun  pada  tingkat  individu.  Dalam  buku  mereka  yang
berjudul  "Improving  Organizational  Effectiveness  through  Transformational
Leadership",  Bass  dan  Avolio  (1994)  mengemukakan  bahwa  kepemimpinan
transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai "the Four I's".

Dimensi yang  pertama  disebutnya  sebagai  idealized influence  (pengaruh  ideal).
Dimensi  yang  pertama  ini  digambarkan  sebagai  perilaku  pemimpin  yang  membuat
para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya.
Dimensi  yang  kedua disebut  sebagai  inspirational  motivation  (motivasi  inspirasi).
Dalam  dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang
mampu  mengartikulasikan  pengharapan  yang  jelas  terhadap  prestasi  bawahan,
mendemonstrasikan  komitmennya  terhadap  seluruh  tujuan  organisasi,  dan  mampu
menggugah  spirit  tim  dalam  organisasi  melalui  penumbuhan  entusiasme  dan
optimisme.
Dimensi yang ketiga disebut sebagai  intellectual stimulation  (stimulasi intelektual).
Pemimpin  transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan
solusi  yang  kreatif  terhadap  permasalahan-permasalahan  yang  dihadapi  bawahan,
dan memberikan motivasi kepada  bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan
yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.
Dimensi  yang  keempat disebut  sebagai  individualized  consideration  (konsiderasi
individu).  Dalam  dimensi  ini,  pemimpin  transformasional  digambarkan  sebagai
seorang  pemimpin  yang  mau  mendengarkan  dengan  penuh  perhatian  masukanmasukan  bawahan  dan  secara  khusus  mau  memperhatikan  kebutuhan-kebutuhan
bawahan akan pengembangan karir.

Walaupun  penelitian  mengenai  model  transformasional  ini  termasuk  relatif
baru,  beberapa  hasil  penelitian  mendukung  validitas  keempat  dimensi  yang
dipaparkan  oleh  Bass  dan  Avilio  di  atas.  Banyak  peneliti  dan  praktisi  manajemen
yang  sepakat  bahwa  model  kepemimpinan  transformasional  merupakan  konsep
kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan  karakteristik pemimpin (Sarros dan
Butchatsky 1996). Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ideide  yang  dikembangkan  dalam  pendekatan-pendekatan  watak  (trait),  gaya  (style)
dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan
dan  menyempurnakan  konsep-konsep  terdahulu  yang  dikembangkan  oleh  ahli-ahli
sosiologi  (seperti misalnya Weber 1947) dan  ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns
1978).

Beberapa  ahli  manajemen  menjelaskan  konsep-konsep  kepimimpinan  yang
mirip  dengan  kepemimpinan  transformasional  sebagai  kepemimpinan  yang
karismatik, inspirasional dan yang  mempunyai visi (visionary).  Meskipun terminologi
yang  digunakan  berbeda,  namun  fenomena  fenomana  kepemimpinan  yang
digambarkan dalam  konsep-konsep  tersebut  lebih  banyak  persamaannya  daripada
perbedaannya.
Bryman  (1992)  menyebut  kepemimpinan  transformasional  sebagai
kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan  Butchatsky (1996)
menyebutnya  sebagai  pemimpin  penerobos  (breakthrough  leadership).  Disebut
sebagai  penerobos  karena  pemimpim  semacam  ini  mempunyai  kemampuan untuk
membawa  perubahan-perubahan  yang  sangat  besar  terhadap  individu-individu
maupun organisasi  dengan  jalan:  memperbaiki  kembali  (reinvent)  karakter  diri
individu-individu  dalam  organisasi  ataupun  perbaikan  organisasi,  memulai  proses
penciptaan inovasi, meninjau kembali  struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar
lebih  baik dan  lebih  relevan,  dengan cara-cara  yang  menarik  dan  menantang  bagi
semua  pihak  yang  terlibat,  dan  mencoba  untuk  merealisasikan  tujuan-tujuan
organisasi  yang  selama  ini  dianggap  tidak  mungkin  dilaksanakan.  Pemimpin
penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar
dalam  kehidupan  dan  pekerjaan  mereka  dalam  mencapai  hasil-hasil  yang
diinginkannya.

Pemimpin  penerobos  mempunyai  pemikiran  yang  metanoiac,  dan  dengan
bekal  pemikiran  ini  sang  pemimpin  mampu  menciptakan  pergesaran  paradigma
untuk mengembangkan praktekpraktek  organisasi yang sekarang dengan yang lebih
baru  dan  lebih  relevan.  Metanoia  berasal  dari  kata  Yunani  meta  yang  berarti
perubahan, dan  nous/noos  yang  berarti  pikiran.  Dengan perkembangan globalisasi
ekonomi yang makin nyata, kondisi di berbagai pasar dunia  makin ditandai dengan
kompetisi  yang  sangat  tinggi  (hyper-competition).  Tiap  keunggulan  daya  saing
perusahaan  yang  terlibat  dalam  permainan  global  (global  game)  menjadi  bersifat
sementara  (transitory).  Oleh  karena  itu,  perusahaan  sebagai  pemain  dalam
permainan global harus terus  menerus mentransformasi seluruh aspek manajemen
internal perusahaan agar selalu relevan  dengan kondisi persaingan baru. Pemimpin
transformasional  dianggap  sebagai  model  pemimpin   yang  tepat  dan  yang  mampu
untuk  terus-menerus  meningkatkan efisiensi,  produktifitas, dan  inovasi usaha guna
meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing.

Sejauh  mana  seorang  pemimpin  disebut  transformasional  dapat  diukur
dalam  hubungannya  dengan  efek  pemimpin  tersebut  terhadap  para  bawahan.
Bawahan  seorang  pemimpin  transformasional  merasa  adanya  kepercayaan,
kekaguman,  kesetiaan  dan  hormat  terhadap  pemimpin  tersebut  dan  mereka
termotivasi untuk melakukan hal-hal yang lebih dari pada yang awalnya diharapkan
pemimpin. Pemimpin tersebut memotivasi para bawahan dengan :
1) membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil-hasil suatu pekerjaan,
2) mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi dari pada diri sendiri,
dan 3) mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi.
Avolio  &  Bass  (1987)  mengatakan  bahwa  kepemimpinan  transformasional
berbeda dengan kepemimpinan transaksional dalam dua hal.
Pertama,  meskipun  pemimpin  transformasional  yang  efektif  juga  mengenali
kebutuhan bawahan, mereka berbeda dari pemimpin transaksional aktif. Pemimpin
transformasional  yang  efektif  berusaha  menaikkan  kebutuhan  bawahan.  Motivasi
yang  meningkat  dapat  dicapai  dengan  menaikkan  harapan  akan  kebutuhan  dan
kinerjanya.  Misalnya,  bawahan  di  dorong  mengambil  tanggungjawab  lebih  besar
dan memilikiotonomi dalam bekerja.
Kedua, pemimpin  transformasional  berusaha  mengembangkan  bawahan  agar
mereka juga menjadi pemimpin.
Sebelum  Bass  mengindikasikan  ada  tiga  ciri  kepemimpinan
transformasional  yaitu  karismatik,  stimulasi  intelektual  dan  perhatian  seca ra
individual  mengindikasikan  inspirasional  termasuk  ciri-ciri  kepemimpinan
transformasional.  Dengan  demikian  ciri -ciri  kepemimpinan  transformasional  terdiri
dari karismatik, inspirasional, stimulasi intelektual dan perhatian secara individual.
  Karismatik.
Karismatik  menurut  Yukl  (1998)  merupakan  kekuatan  pemimpin  yang  besar
untuk  memotivasi  bawahan  dalam  melaksanakan  tugas.  Bawahan
mempercayai  pemimpin  karena  pemimpin  dianggap  mempunyai  pandangan,
nilai  dan  tujuan  yang  dianggapnya  benar.  Oleh  sebab  itu  pemimpin  yang
mempunyai  karisma  lebih  besar  dapat  lebih  mudah  mempengaruhi  dan
mengarahkan bawahan agar bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh
pemimpin.  Selanjutnya  dikatakan  kepemimpinan  karismatik  dapat  memotivasi
bawahan  untuk  mengeluarkan  upaya  kerja  ekstra  karena  mereka  menyukai
pemimpinnya.
8
  Inspirasional.
Perilaku pemimpin inspirational menurut Yukl & Fleet (dalam Bass, 1985) dapat
merangsang  antusiame  bawahan  terhadap  tugas-tugas  kelompok  dan  dapat
mengatakan hal-hal yang dapat menumbuhkan kepercayaan bawahan terhadap
kemampuan untuk menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan kelompok.
  Stimulasi Intelektual.
Menurut  Yukl  (1998;  Deluga;  1998;  Bycio,  dkk,  1995)  stimulasi  intelektual
merupakan upaya bawahan terhadap persoalan-persoalan dan mempengaruhi
bawahan  untuk  melihat  persoalan-persoalan  tersebut  melalui  perspektif  baru,
sedangkan  oleh  Seltzer  dan  Bass  (1990)  dijelaskan  bahwa  melalui  stimulasi
intelektual,  pemimpin  merangsang  kreativitas  bawahan  dan  mendorong  untuk
menemukan  pendekatan  - pe ndekatan  baru  terhadap  masalah-masalah  lama.
Jadi,  melalui  stimulasi  intelektual,  bawahan  didorong  untuk  berpikir  mengenai
relevansi  cara,  system  nilai,  kepercayaan,  harapan  dan  didorong  melakukan
inovasi  dalam  menyelesaikan  persoalan  melakukan  inovasi  dalam
menyelesaikan  persoalan  dan  berkreasi  untuk  mengembangkan  kemampuan
diri serta disorong untuk menetapkan tujuan atau sasaran yang menantang.
Kontribusi  intelektual  dari  seorang  pemimpin  pada  bawahan  harus  didasari
sebagai  suatu  upaya  untuk  memunculkan  kemampuan  bawahan.  Hal  itu
dibuktikan  dalam  penelitian  Seltzer  dan  bass  (1990)  bahwa  aspek  stimulasi
intelektual  berkorlasi  positif  dengan  extra  effort.  Maksudnya,  pemimpin  yang
dapat  memberikan  kontribusi  intelektual  senantiasa  mendorong  staf  supaya
mapu mencurahkan upaya untuk perencanaan dan pemecahan masalah.
  Perhatian secara Individual
Perhatian  atau  pertimbangan  terhadap  perbedaan  individual  implikasinya
adalah  memelihara  kontak  langsung  face  to  face dan  komunikasi  terbuka
dengan para pegawai. Zalesnik (1977; dalam Bass, 1985) mengatakan, bahwa
pengaruh  personal  dan  hubungan  satu  persatu  antara  atasan-bawahan
merupakan  hal  terpenting  yang  utama.  Perhatian  secara  individual  tersebut
dapat  sebagai  indentifikasi  awal  terhadap  para  bawahan  terutama  bawahan
yang  mempunyai  potensi  untuk  menjadi  seorang  pemimpin.  Sedangkan
monitoring merupakan  bentuk  perhatian  individual  yang  ditunjukkan  melalui
9
tindakan  konsultasi,  nasehat  dan  tuntutan  yang  diberikan  oleh  senior  kepada
yunior yang belum berpengalaman bila dibandingkan dengan seniornya.
Heater  dan  Bass  (1998)  mengatakan  bahwa  kepemimpinan
transformasional  lebih  menarik  bagi  karyawan  yang  berpendidikan  tinggi  karena
karyawan  yang  berpendidikan  tinggi  mendambakan  tantangan  kerja  yang  dapat
menambah  profesionalis  dan  pengembangan  diri.  Pendapat  tersebut  sejalan
dengan  pendapat  Keller  (1992)  bahwa  mereka  yang  mempunyai  tingkat
pendidikan tinggi mempunyai minat mendalam dalam menghadapi tantangan kerja
dan  bawahan  yang  mempunyai  pendidikan  tinggi  dapat  mendukung  memberi
respon  terhadap  kepemimpinan  transformasional.  Respon  positif  tersebut  dapat
mempengaruhi  tingkat  motivasi  bawahan  sehingga  bawahan  juga  akan
meningkatkan  upayanya  atau  melakukan  extra  effort untuk  mendapatkan  hasil
kerja  lebih  tinggi  dari  yang  diharapkan.  Sedangkan  bass  (1985)  mengatakan,
kepemimpinan  transformasional  lebih  memungkinkan  muncul  dalam  organisasi
yang memiliki kehangatandan kepercayaan yang tinggi juga berpendidikan tinggi,
diharapkan dengan pendidikan tinggi dapat menjadi orang yang kreatif.
b. Kepemimpinan Transaksional
Menurut Burns (1978) pada kepemimpinan transaksional, hubungan antara
pemimpin dengan bawahan didasarkan pada serangkaian aktivitas tawar menawar
antar  keduanya.  Karakteristik  kepemimpinan  transaksional  adalah  contingent
rewarddan management by-exception.
Pada  contingent  reward dapat  berupa  penghargaan  dari  pimpinan  karena  tugas
telah  dilaksanakan,  berupa  bonus  atau  bertambahnya  penghasilan  atau  fasilitas.
Hal ini  dimaksudkan  untuk  memberi  penghargaan  maupun  pujian untuk bawahan
terhadap  upaya-upayanya.  Selain  itu,  pemimpin  betransaksi  dengan  bawahan,
dengan  memfokuskan pada aspek kesalahan  yang dilakukan  bawahan,  menunda
keputusan  atau  menghindari  hal-hal  yang  kemungkinan  mempengaruhi  terjadinya
kesalahan.
Management  by-exception menekankan  fungsi  managemen  sebagai  kontrol.
Pimpinan  hanya  melihat  dan  mengevaluasi  apakah  terjadi  kesalahan  untuk
diadakan koreksi, pimpinan memberikan intervensi pada bawahan apabila standar
tidak  dipenuhi  oleh  bawahan.  Praktik  management  by-exception,  pimpinan
10
mendelegasikan  tanggungjawab  kepada  bawahan  dan  menindaklanjuti  dengan
memberikan  apakah  bawahan  dapat  berupa  pujian  untuk  membesarkan  hati
bawahan dan juga dengan hadiah apabila laporan yang dibuat bawahan memenuhi
standar.
Menurut Bycio dkk. (1995) kepemimpinan  transaksional adalah gaya kepemimpinan
di mana seorang pemimpin  menfokuskan perhatiannya pada transaksi interpersonal
antara  pemimpin  dengan  karyawan  yang  melibatkan  hubungan  pertukaran.
Pertukaran  tersebut  didasarkan  pada  kesepakatan  mengenai  klasifikasi  sasaran,
standar kerja, penugasan kerja, dan penghargaan.
IV. Urgensi Kepemimpinan Transformasional
Gary Yulk dalam Leadership in Organization(1989), amat gamblang memperlihatkan
karakter dari kepemimpinan transformatif itu.
Pertama,fokus kepemimpinan transformatif pertama-tama terarah pada kepentingan
bawahannya. Di sini animo utama dari pemimpin adalah perbaikan kondisi  bawahan.
Jadi ia membawa bawahankeluar dari kondisi keterpurukannya menuju kondisi yang
lebih  baik.  Upaya  itu  diwujudkan  dengan  kebijakan-kebijakan  yang  memungkinkan
perbaikan itu.
Kedua,  pemimpin  transformatif  berupaya  untuk  memberikan  perhatian  pada  nilai nilai  etis.  Artinya,  perhatian  pemimpin  transformatif  juga  terkait  dengan  perbaikan
kualitas  moralitas  dan  motivasi  dari  bawahan yang  dipimpinnya.  Dengan  kata  lain,
pemimpin  transformasional  menyuarakan  cita-cita  dan  nilai-nilai  moral  seperti
kemerdekaan,  keadilan,  tanggung  jawab  sosial  lewat  empati.  Landasannya  ialah
bahwa setiap orang berharga baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Karena itulah
ia  harus  diangkat  dan  dihargai  secara  total.  Jadi,  pemimpin  membangkitkan
kesadaran dari pengikut dengan menyerukan cita-cita yang lebih tinggi.
Ketiga, pemimpin  transformatif  tidak  menggurui,  melainkan  mengaktifkan  para
pengikut  untuk  melakukan  inovasi-inovasi  untuk  bangkit  dari  keterpurukannya..  Di
sini  Yulk  memperlihatkan  bahwa  seorang  pemimpin  bukan  sebagai  penentu
segalanya, melainkan pendamping dan partner bagi bawahannya
11
Keempat, kepemimpinan  transformatif  mengandung  muatan  stimulasi  intelektual.
Dalam  sistem  seperti  ini  intensi  penguasa  adalah  meningkatkan  kesadaran
pengikutnya  akan  masalah-masalah  konkret  dan  memandang  masalah  itu  dari
perspektif yang baru. Jadi, ada semacam konsistensi.
Kelima,kepemimpinan transformatif menghidupkan dialog dalam strata sosial lewat
komunikasi politik yang sehat. Dialog ini mengandaikan adanya keterbukaan dan visi
yang jelas dari seorang pemimpin.
V. Kepemimpinan Transformasional dan Kinerja
Sudarwan  (2004 :  137  – 138)  menyebutkan  secara  luas  adanya  penelitian
tentang  perilaku  kepemimpinan  dihubungkan  dengan  kepuasan  dan  produktifitas
pada  usaha  industri  pada  Pusat  penelitian  Universitas  Michigan.  Para  peneliti
menarik  kesimpulan  bahwa  ada  tiga  dimensi  perilaku  kepemimpinan  yang
mempunyai kaitan sangat erat dengan keberhasilan kelompok kerja, yaitu :
1.  Asumsi tentang peranan pimpinan, yaitu asumsi bila seorang pemimpin aktif
memberikan contoh, produktifitas kelompok akan meningkat.
Pemimpin  harus  mampu  menciptakan  kesesuaian  antara  kata  dan
perbuatan,  dan  memberi  contoh  yang  lebih  bermakna  daripada  hanya
sekedar  menyampaikan  kata-kata  atau  verbalisme.  Bila  seorang  pemimpin
hanya  memerankan  diri sebagai  anggota, produktifitas akan  menurun. Oleh
sebab  itu,  sebaiknya  pemimpin  adalah  orang  yang  mampu  membuat
rencana,  melaksanakan,  dan  mengadakan  kontrol  secara  serial  (berkala).
Pemimpin  yang  baik tidak  bersifat  kekanak-kanakan,  melainkan  mempunyai
kemantapan, berpandangan jauh  ke depan, dewasa, dan  sejumlah predikat
lainnya.
Dalam  konsep  kepemimpinan  transformasional,  seorang  pemimpin
dituntut  untuk  menunjukkan  kredibilitasnya  sebagai  seorang  pemimpin,
sehingga  seorang  pemimpin  dipercaya  oleh  bawahannya.  Begitu  penting
kredibilitas  ini  bagi  seorang  pemimpin,  kredibilitas  adalah  modal  terpenting
dalam  kepemimpinan.  Tanpa  kredibilitas  ini,  pimpinan  hanyalah  bekerja
berdasarkan  kekuasaan  sehingga  tidak  akan  mampu  menjalankan  secara
efektif.  Jika  bawahan  tidak  percaya  pada  pembawa  berita  apalagi
mempercayai  isi  beritanya.  Bagaimana  mungkin  seorang  pimpinan  bisa
12
mengarahkan pegawai ke arah tujuan, jika pimpinan tersebut tidak dipercaya
bawahannya.
2.  Ketelitian  pengawasan,  adalah  salah  satu  penentu  produktifitas  kelompok
kerja  di  dalam  organisasi,  apapun  bentuk  dan  jenis pekerjaan  yang  ada  di
organisasi itu.
Dalam  hubungannya  dengan  pengawasan,  hasil  penelitian
menunjukkan bahwa manusia organisasi akan lebih produktif bila kepadanya
diberikan  sejumlah  otonomi  atau  kesempatan  berdiri  sendiri  dalam
melaksanakan  tugasnya  dan  hal  ini  berhubungan  dengan  kepuasan
kelompok baik dari diri pengawas maupun anggota yang diawasi.
Dalam  konsep  kepemimpinan  transaksional,  Pemimpin
transformasional  adalah  pemimpin  yang  menstimulasi  intelektual
bawahannya.  Pemimpin  transformasional  akan menginspirasi  bawahannya
untuk maju, ia akan menjadikan bawahan untuk menjadi seorang pemimpin
juga tanpa merasa tersaingi.
Judge  dan  Locke  (1993)  menegaskan  pula  bahwa  gaya
kepemimpinan merupakan salah satu faktor penentu kepuasan kerja. Jenkins
menambahkan   bahwa  keluarnya  karyawan  lebih  banyak  disebabkan  oleh
ketidakpuasan  terhadap  kondisi  kerja  karena  karyawan  merasa  pimpinan
tidak  memberi  kepercayaan  kepada  karyawan,  tidak  ada  keterlibatan
karyawan dalam pembuatan keputusan, pemimpin berlaku tidak  objektif dan
tidak  jujur  pada  karyawan.  Pendapat  ini  didukung  oleh  Nanus  (1992)  yang
mengemukakan  bahwa  alasan  utama  karyawan  meninggalkan  organisasi
disebabkan  karena  pemimpin  gagal  memahami  karyawan  dan  pemimpin
tidak memperhatikan kebutuhan-kebutuhan karyawan.
Disinilah  peranan  pemimpin  transformasional  dalam  melibatkan
secara  aktif  bawahannya dalam  proses  kinerja  manjadi  sangat  penting . Bill
Marriot,  pendiri  rangkaian  hotel  bertaraf  internasional,  Hotel  Marriot,
memahami  pentingnya  mendengarkan  masukan  dari  karyawan,
memperhatikan, menghargai dan membina hubungan baik dengan karyawan.
Bill Marriot percaya bahwa karyawan yang merasa diperhatikan, didengarkan
dan  dihargai  akan  merasa  hasil  kerja  mereka  tidak  sia-sia.  Mereka  dengan
sendirinya  akan  melakukan  yang  terbaik  dalam  melayani  pelanggan  juga
dengan  kualitas  layanan  nomor  satu.  Semua  ini  akhirnya  akan  memberi
kontribusi positif bagi perusahaan.
13
Dalam  konsep  Total  Quality  Manajemen,  diantara  3  prinsip  mutu  yang
merupakan  konsep  dasar  dari  total  quality  adalah  keterlibatan  total.
Pendekatan ini dimulai dengan kepemimpinan manajemen senior yang aktif
dan  mencakup  usaha  yang  memanfaatkan  bakat  semua  karyawan  dalam
suatu  organisasi  untuk  mencapai  suatu  keunggulan  kompetitif  (Competitive
Advantage)  di  pasar  yang  dimasuki.  Karyawan  pada  semua  level  diberikan
wewenang/kuasa untuk memperbaiki output melalui kerjasama dalam struktur
kerja yang fleksibel untuk memecahkan persoalan, memperbaiki proses dan
memuaskan pelanggan.  Perusahaan juga akan memperoleh keuntungan
dengan melibatkan karyawan dalam memperbaiki proses perusahaan, antara
lain :
a.  Karyawan  akan  menikmati  lingkungan  pekerjaan,  sehingga  akan
tetap  tinggal  dalam jangka  waktu  yang lama  , sehingga  organisasi
akan menghemat biaya yang berkaitan dengan turnover karyawan
b.  Karyawan  yang  diperhatikan,  akan  mendapatkan  kepuasan  dalam
bekerja,  sehingga  akan  memberikan  hasil  pekerjaan  yang  terbaik
sehingga hal ini akan berimbas pada performace perusahaan.
c.  Adanya perbaikan terus menerus terhadap kualitas perusahaan.
3.  Orientasi  terhadap  bawahan,  yaitu  perhatian  dari  atasannya  untuk  dapat
meningkatkan  produktifitas  kerja.  Hal  ini  dapat  ditempuh  dengan  jalan
memberikan  perhatian  khusus  pada  masalah  kesehatan,  mengurangi
hukuman  atas  kesalahan  dan  gaya  kepemimpinan  yang  sesuai  dengan
kebutuhan  anggotanya.  Kebalikan  dari  orientasi  kepada  bawahan  adalah
orientasi terhadap tugas, yaitu pemimpin tidak melihat apapun dari bawahan
kecuali pelaksanaan pekerjaan dan penilaian kinerja hanya ditentukanm atas
keberhasilan seseorang melaksanakan pekerjaanya.
Dalam  kaitan  dengan  Kepemimpinan  transaksional,  pemimpin
transaksional menuntut adanya perhatian secara Individual seorang pimpinan
terhadap  bawahan.  Perhatian  atau  pertimbangan  terhadap  perbedaan
individual implikasinya adalah me melihara kontak langsung  face to facedan
komunikasi  terbuka  dengan  para  pegawai.  Zalesnik  (1977;  dalam  Bass,
1985)  mengatakan,  bahwa  pengaruh  personal  dan  hubungan  satu  persatu
antara  atasan-bawahan  merupakan  hal  terpenting  yang  utama.  Perhatian
secara  individual  tersebut  dapat  sebagai  indentifikasi  awal  terhadap  para
bawahan terutama bawahan yang mempunyai potensi untuk menjadi seorang
pemimpin.  Sedangkan  monitoring merupakan  bentuk  perhatian  individual
14
yang  ditunjukkan  melalui  tindakan  konsultasi,  nasehat  dan  tuntutan  yang
diberikan  oleh  senior  kepada  yunior  yang  belum  berpengalaman  bila
dibandingkan dengan seniornya.
Dan  diantara  elemen  pendukung  dalam  keberhasilan  TQM  juga
ditekankan adanya komunikasi, dimana komunikasi kepada seluruh karyawan
mengenai suatu  komitmen  yang  sungguh-sungguh  untuk  melakukan
perubahan  dalam  usaha  peningkatan  mutu.  Secara  ideal  manajer  harus
bertemu  secara  pribadi  dengan  karyawan  untuk  menyampaikan  informasi,
memberi pengarahan dan menjawab pertanyaan dari setiap karyawan.
Uraian  diatas  menunjukkan  kaitan  erat  antara  pemimpin  transformasional
dengan kinerja suatu organisasi
VI. Kesimpulan
Jika seorang pemimpin menerapkan gaya Kepemimpinan transformasional
akan  menunjukkan hasil  yang lebih  baik dibanding  kepemimpinan  transaksional.
Hal  tersebut  karena  praktik  gaya  kepemimpinan  transformasional  mampu
membawa  perubahan-perubahan  yang  lebih  mendasar  seperti  perluasan  nilainilai,  tujuan  dan  kebutuhan  bawahan  dan  perubahan-perubahan  tersebut
berdampak  pada  upaya  bawahan  karena  dengan  terpenuhinya  kebutuhan  yang
lebih tinggi membuat bawahan mempertinggi motivasi dalam mencapai hasil kerja
yang lebih optimal dan membuat bawahan berupaya lebih keras  denganbekerja
lebih baik.
15
Sumber Acuan
Danim, Sudarman (2004), “Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok”, Asdi
Mahasatya, Jakarta
Daryanto,  Arif,  (2005),  “Model  Kepemimpinan  dan  Kepemimpinan  Agribisnis Masa
Depan”.
Mujiasih, Endah & Sutrisno Hadi, “Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional”
Goleman, Daniel dkk(2005), “Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Emosi”, Edisi
Ketiga, Gramedia, Jakarta
Robert N Anthony & Vijay Govindarajan (2000) “ Sistem Pengendalian Manajemen”,
Salemba Empat, Jakarta
Sudarto,  Dawam  &  Herman  Matondang,  (2002),  Materi  Pokok  Pengelolaan
Keuangan Negara, BPLK, Jakarta
Sihotang,  Kasdin (2003),  “Urgensi  Pemimpin  Transformatif”,  Suara  Pembaharuan
Daily
Wahyusumidsjo, (1999) “Kepemimpinan dan Motivasi”, Graha Indonesia, Jakarta
Sumber online:
http://www.pemimpinunggul.com
http://www.depdiknas.go.id
http://www.pshycology.com

*)Penulis adalah pegawai Seksi Pencairan Dana KPPN Rantauprapat