Rabu, 26 Juni 2013

Kepemimpinan Transaksional dan Kepemimpinan Transformasional


Oleh :
Dwi Ari Wibawa, SIP, M.M*)


I. Kepemimpinan
Teh  Botol  Sosro  harus  bersaing  dengan  Coca  Cola  yang  berskala  global.  Ayam
goreng  Ny.  Suharti,  Mbok  Berek,  Ayam  Bakar Wong  Solo, harus bersaing  dengan
McDonald dan Kentucky Fried Chicken. Tukang parkir pinggir jalan harus ‘bersaing’
dengan  Secure  Parking.  Tukang  cuci  mobil  dan  tukang  sayur  pun  juga  harus
bersaing dengan merek global. Intinya persaingan global telah ada di  hadapankita,
yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Situasi  global  yang  kompetitif  ini,  mengharuskan  perusahaan  mempunyai
kemampuan  bertahan  dan  menang.  Namun,  strategi  yang  bagus  saja tidaklah
memadai.  Seorang  pemimpin  yang  handal  dibutuhkan  oleh  perusahaan.  Karena
seorang  pemimpin yang handal bukan saja harus piawai dalam menyusun strategi,
tetapi  juga  dapat  menjalankan  strategi  dengan  efektif.  Karena  pemimpinlah  yang
akan  melahirkan  strategi  dan  sekaligus  berupaya  keras  agar  dapat  mewujudkan
strategi itu.

Dalam  pandangan  (Anthony  &  Govindarajan,  2003)  s etiap  organisasi  terdiri
dari elemen-elemen atau bagian yang telah ditentukan fungsi-fungsinya, untuk saling
bekerjasama dan saling mempengaruhi, dan tidak ada yang lebih dominan atau lebih
utama dari sebagian yang lain, kecuali harus terkoordinasi dalam tujuan-tujuan yang
telah ditentukan. Untuk bekerjanya sebagai sebuah sistem, organisasi dipimpin oleh
hierarki  manajer,  dengan  Chief  Executive  Officer  (CEO)  pada  posisi  puncak,  dan
para  manajer  unit  bisnis,  departemen,  bagian  (section)  dan  subunit  lainnya  yang
peringkatnya berada dibawahnya dalam suatu diagram organisasi.
Kepemimpinan  oleh  Kenneth  H.  Blanchard  (Wahjosumidjo,  1985)  adalah
proses  dalam  mempengaruhi  kegiatan-kegiatan  seseorang  atau  kelompok  dalam
usahanya  mencapai tujuan  dalam  situasi tertentu.  Tanpa kepemimpinan  organisasi
hanya  merupakan  kelompok  manusia  yang  kacau  tidak  teratur  dan  tidak  akan
melahirkan perilaku bertujuan (Keith Davis dalam Sudarwan, 2004 : 18)

Menurut  Emil  H.  Tambunan  kepemimpinan  merupakan  kegiatan
mempengaruhi orang lain supaya mereka dapat bekerjasama mencapai tujuan yang
diinginkan. Kepemimpinan adalah kesanggupan yang dipunyai oleh seseorang untuk
mempengaruhi  sikap  dan  perilaku  orang  lain  menurut  kepemimpinannya.  Hal  ini
berarti  bahwa  seseorang  yang  sanggup  mengarahkan  atau  mempengaruhi  orang
lain pada satu posisi yang berfungsi sebagai seorang pemimpin.
Warren Bennis dalam bukunya “Leader, The Strategies for Taking Change”,
menyatakan  kepemimpinan  perlu  untuk  menolong  organisasi,  mengembangkan
pendangan  baru,  bagaimana  supaya  mereka  dapat  maju,  kemudian  memobilisasi
perubahan organisasi menuju pandangan baru.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi.
Pertama,    kepemimpinan  berarti  melibatkan  orang  atau  pihak  lain,  yaitu  para
karyawan  atau  bawahan  (followers).  Para  karyawan  atau  bawahan  harus  memiliki
kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya
karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.
Kedua,  seorang  pemimpin  yang  efektif  adalah  seseorang  yang  dengan
kekuasaannya  (his or her power) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai
kinerja yang memuaskan.

Menurut  French  dan  Raven  (1968),  kekuasaan  yang  dimiliki  oleh  para  pemimpin
dapat bersumber dari:
  Reward  power,  yang  didasarkan  atas  persepsi  bawahan  bahwa  pemimpin
mempunyai  kemampuan  dan  sumberdaya  untuk  memberikan  penghargaan
kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahan pemimpinnya.
  Coercive  power,  yang  didasarkan  atas  persepsi  bawahan  bahwa  pemimpin
mempunyai  kemampuan  memberikan  hukuman  bagi  bawahan  yang  tidak
mengikuti arahan-arahan pemimpinnya
 Legitimate power, yang didasarkan atas persepsi bawahan bahwa pemimpin
mempunyai hak untuk menggunakan pengaruh dan otoritas yang dimilikinya.
  Referent  power,  yang  didasarkan  atas  identifikasi  (pengenalan)  bawahan
terhadap sosok pemimpin. Para pemimpin dapat menggunakan pengaruhnya
karena karakteristik pribadinya, reputasinya atau karismanya.
  Expert  power,  yang  didasarkan  atas  persepsi  bawahan  bahwa  pemimpin
adalah seeorang yang memiliki kompetensi dan mempunyai keahlian dalam
bidangnya.

Para pemimpin dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang
berbeda untuk mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi.
Ketiga, kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri ( integrity), sikap
bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian
bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan
orang  lain  (confidence)  dan  kemampuan  untuk  meyakinkan  orang  lain
(communication) dalam membangun organisasi.

Kepemimpinan transformasinal dan Transaksional.

Banyak  studi  mengenai  kecakapan  kepemimpinan  (leadership  skills)  yang
dibahas  dari  berbagai  perspektif  yang  telah  dilakukan  oleh  para  peneliti.  Analisis
awal  tentang  kepemimpinan,  dari  tahun  1900-an  hingga  tahun  1950-an,
memfokuskan perhatian pada perbedaan karakteristik antara pemimpin (leaders) dan
pengikut/karyawan (followers). Karenanyahasil penelitian pada saat periode tersebut
menunjukkan bahwa tidak terdapat satu pun sifat atau watak (trait) atau kombinasi
sifat  atau  watak  yang  dapat  menerangkan  sepenuhnya  tentang  kemampuan  para
pemimpin,  maka  perhatian  para  peneliti  bergeser  pada  masalah  pengaruh  situasi
terhadap kemampuan dan tingkah laku para pemimpin.
Studi-studi  kepemimpinan  selanjutnya  berfokus  pada  tingkah  laku  yang
diperagakan  oleh  para  pemimpin  yang  efektif.  Untuk  memahami  faktor-faktor  apa
saja  yang  mempengaruhi  tingkah  laku  para  pemimpin  yang  efektif,  para  peneliti
menggunakan model  kontingensi  (contingency  model).  Dengan  model  kontingensi
tersebut  para  peneliti  menguji  keterkaitan  antara  watak  pribadi,  variabel-variabel
situasi dan keefektifan pemimpin.
Studi-studi tentang  kepemimpinan  pada  tahun  1970-an dan 1980-an,  sekali
lagi memfokuskan perhatiannya kepada karakteristik individual para pemimpin yang
mempengaruhi keefektifan mereka dan keberhasilan organisasi yang mereka pimpin.
Hasil-hasil  penelitian  pada  periode  tahun  1970-an  dan  1980-an  mengarah  kepada
kesimpulan  bahwa  pemimpin  dan  kepemimpinan  adalah  persoalan  yang  sangat
penting  untuk  dipelajari  (crucial),  namun  kedua  hal  tersebut  disadari  sebagai
komponen organisasi yang sangat komplek.

Kepemimpinan transaksional dan transformasional dikembangkan oleh Bass
(1985)  bertolak  dari  pendapat  Maslow  tentang  tingkatan  kebutuhan  manusia.
Menurut teori hierarki kebutuhan tersebut, kebutuhan bawahan lebih rendah seperti
kebutuhan fisik, rasa aman dan pengharapan dapat terpenuhi dengan baik melalui
penerapan  kepemimpinan  transaksional.  Namun,  aktualisasi  diri,  menurut  hanya
dimungkinkan terpenuhi melalui penerapan kepemimpinan transformasional.

a.  Kepemimpinan Transformasional ( Transformational Leadership)
Model  kepemimpinan  transformasional  merupakan  model  yang  relatif  baru
dalam studi-studi  kepemimpinan.  Model  ini  dianggap  sebagai  model  yang  terbaik
dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional
mengintegrasikan  ide-ide  yang  dikembangkan  dalam  pendekatan  watak,  gaya  dan
kontingensi.  Burns  (1978)  merupakan  salah  satu  penggagas  yang  secara  eksplisit
mendefinisikan  kepemimpinan  transformasional.  Menurutnya,  untuk  memperoleh
pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model
ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional.
Kepemimpinan  transaksional  didasarkan  pada  otoritas  birokrasi  dan
legitimasi  di  dalam  organisasi.  Pemimpin  transaksional  pada  hakekatnya
menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan
para  bawahannya  untuk  mencapai  tujuan  organisasi.  Disamping  itu,  pemimpin
transaksional  cenderung  memfokuskan  diri  pada  penyelesaian  tugas-tugas
organisasi.  Untuk  memotivasi  agar  bawahan  melakukan  tanggungjawab  mereka,
para  pemimpin  transaksional  sangat  mengandalkan  pada  sistem  pemberian
penghargaan dan hukuman kepada bawahannya.
Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional
pada  hakekatnya  menekankan  seorang  pemimpin  perlu  memotivasi  para
bawahannya  untuk  melakukan  tanggungjawab  mereka  lebih  dari  yang  mereka
harapkan.  Pemimpin  transformasional  harus  mampu  mendefinisikan,
mengkomunikasikan  dan  mengartikulasikan  visi  organisasi,  dan  bawahan  harus
menerima  dan  mengakui  kredibilitas  pemimpinnya.  Hater  dan  Bass  (1988)
menyatakan  bahwa  "the  dynamic  of  transformational  leadership  involve  strong
personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or going
beyond the self-interest exchange of rewards for compliance".
Dengan  demikian,  pemimpin  transformasional  merupakan  pemimpin  yang
karismatik dan mempunyai peran sentral dan  strategis dalam membawa organisasi
mencapai  tujuannya.  Pemimpin  transformasional  juga  harus  mempunyai
kemampuan  untuk  menyamakan  visi  masa  depan  dengan  bawahannya,  serta
mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang
mereka butuhkan.

Menurut  Yammarino  dan  Bass  (1990),  pemimpin  transformasional  harus
mampu  membujuk  para  bawahannya  melakukan  tugas-tugas  mereka  melebihi
kepentingan  mereka  sendiri  demi  kepentingan  organisasi  yang  lebih  besar.
Yammarino  dan  Bass  (1990)  juga  menyatakan  bahwa  pemimpin  transformasional
mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi bawahan
dengan  cara  yang  intelektual,  dan  menaruh  parhatian  pada  perbedaan-perbedaan
yang dimiliki oleh bawahannya.

Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna (1990),
keberadaan  para  pemimpin  transformasional  mempunyai  efek  transformasi  baik
pada  tingkat  organisasi  maupun  pada  tingkat  individu.  Dalam  buku  mereka  yang
berjudul  "Improving  Organizational  Effectiveness  through  Transformational
Leadership",  Bass  dan  Avolio  (1994)  mengemukakan  bahwa  kepemimpinan
transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai "the Four I's".

Dimensi yang  pertama  disebutnya  sebagai  idealized influence  (pengaruh  ideal).
Dimensi  yang  pertama  ini  digambarkan  sebagai  perilaku  pemimpin  yang  membuat
para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya.
Dimensi  yang  kedua disebut  sebagai  inspirational  motivation  (motivasi  inspirasi).
Dalam  dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang
mampu  mengartikulasikan  pengharapan  yang  jelas  terhadap  prestasi  bawahan,
mendemonstrasikan  komitmennya  terhadap  seluruh  tujuan  organisasi,  dan  mampu
menggugah  spirit  tim  dalam  organisasi  melalui  penumbuhan  entusiasme  dan
optimisme.
Dimensi yang ketiga disebut sebagai  intellectual stimulation  (stimulasi intelektual).
Pemimpin  transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan
solusi  yang  kreatif  terhadap  permasalahan-permasalahan  yang  dihadapi  bawahan,
dan memberikan motivasi kepada  bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan
yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.
Dimensi  yang  keempat disebut  sebagai  individualized  consideration  (konsiderasi
individu).  Dalam  dimensi  ini,  pemimpin  transformasional  digambarkan  sebagai
seorang  pemimpin  yang  mau  mendengarkan  dengan  penuh  perhatian  masukanmasukan  bawahan  dan  secara  khusus  mau  memperhatikan  kebutuhan-kebutuhan
bawahan akan pengembangan karir.

Walaupun  penelitian  mengenai  model  transformasional  ini  termasuk  relatif
baru,  beberapa  hasil  penelitian  mendukung  validitas  keempat  dimensi  yang
dipaparkan  oleh  Bass  dan  Avilio  di  atas.  Banyak  peneliti  dan  praktisi  manajemen
yang  sepakat  bahwa  model  kepemimpinan  transformasional  merupakan  konsep
kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan  karakteristik pemimpin (Sarros dan
Butchatsky 1996). Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ideide  yang  dikembangkan  dalam  pendekatan-pendekatan  watak  (trait),  gaya  (style)
dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan
dan  menyempurnakan  konsep-konsep  terdahulu  yang  dikembangkan  oleh  ahli-ahli
sosiologi  (seperti misalnya Weber 1947) dan  ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns
1978).

Beberapa  ahli  manajemen  menjelaskan  konsep-konsep  kepimimpinan  yang
mirip  dengan  kepemimpinan  transformasional  sebagai  kepemimpinan  yang
karismatik, inspirasional dan yang  mempunyai visi (visionary).  Meskipun terminologi
yang  digunakan  berbeda,  namun  fenomena  fenomana  kepemimpinan  yang
digambarkan dalam  konsep-konsep  tersebut  lebih  banyak  persamaannya  daripada
perbedaannya.
Bryman  (1992)  menyebut  kepemimpinan  transformasional  sebagai
kepemimpinan baru (the new leadership), sedangkan Sarros dan  Butchatsky (1996)
menyebutnya  sebagai  pemimpin  penerobos  (breakthrough  leadership).  Disebut
sebagai  penerobos  karena  pemimpim  semacam  ini  mempunyai  kemampuan untuk
membawa  perubahan-perubahan  yang  sangat  besar  terhadap  individu-individu
maupun organisasi  dengan  jalan:  memperbaiki  kembali  (reinvent)  karakter  diri
individu-individu  dalam  organisasi  ataupun  perbaikan  organisasi,  memulai  proses
penciptaan inovasi, meninjau kembali  struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar
lebih  baik dan  lebih  relevan,  dengan cara-cara  yang  menarik  dan  menantang  bagi
semua  pihak  yang  terlibat,  dan  mencoba  untuk  merealisasikan  tujuan-tujuan
organisasi  yang  selama  ini  dianggap  tidak  mungkin  dilaksanakan.  Pemimpin
penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan besar
dalam  kehidupan  dan  pekerjaan  mereka  dalam  mencapai  hasil-hasil  yang
diinginkannya.

Pemimpin  penerobos  mempunyai  pemikiran  yang  metanoiac,  dan  dengan
bekal  pemikiran  ini  sang  pemimpin  mampu  menciptakan  pergesaran  paradigma
untuk mengembangkan praktekpraktek  organisasi yang sekarang dengan yang lebih
baru  dan  lebih  relevan.  Metanoia  berasal  dari  kata  Yunani  meta  yang  berarti
perubahan, dan  nous/noos  yang  berarti  pikiran.  Dengan perkembangan globalisasi
ekonomi yang makin nyata, kondisi di berbagai pasar dunia  makin ditandai dengan
kompetisi  yang  sangat  tinggi  (hyper-competition).  Tiap  keunggulan  daya  saing
perusahaan  yang  terlibat  dalam  permainan  global  (global  game)  menjadi  bersifat
sementara  (transitory).  Oleh  karena  itu,  perusahaan  sebagai  pemain  dalam
permainan global harus terus  menerus mentransformasi seluruh aspek manajemen
internal perusahaan agar selalu relevan  dengan kondisi persaingan baru. Pemimpin
transformasional  dianggap  sebagai  model  pemimpin   yang  tepat  dan  yang  mampu
untuk  terus-menerus  meningkatkan efisiensi,  produktifitas, dan  inovasi usaha guna
meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing.

Sejauh  mana  seorang  pemimpin  disebut  transformasional  dapat  diukur
dalam  hubungannya  dengan  efek  pemimpin  tersebut  terhadap  para  bawahan.
Bawahan  seorang  pemimpin  transformasional  merasa  adanya  kepercayaan,
kekaguman,  kesetiaan  dan  hormat  terhadap  pemimpin  tersebut  dan  mereka
termotivasi untuk melakukan hal-hal yang lebih dari pada yang awalnya diharapkan
pemimpin. Pemimpin tersebut memotivasi para bawahan dengan :
1) membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil-hasil suatu pekerjaan,
2) mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi dari pada diri sendiri,
dan 3) mengaktifkan kebutuhan-kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi.
Avolio  &  Bass  (1987)  mengatakan  bahwa  kepemimpinan  transformasional
berbeda dengan kepemimpinan transaksional dalam dua hal.
Pertama,  meskipun  pemimpin  transformasional  yang  efektif  juga  mengenali
kebutuhan bawahan, mereka berbeda dari pemimpin transaksional aktif. Pemimpin
transformasional  yang  efektif  berusaha  menaikkan  kebutuhan  bawahan.  Motivasi
yang  meningkat  dapat  dicapai  dengan  menaikkan  harapan  akan  kebutuhan  dan
kinerjanya.  Misalnya,  bawahan  di  dorong  mengambil  tanggungjawab  lebih  besar
dan memilikiotonomi dalam bekerja.
Kedua, pemimpin  transformasional  berusaha  mengembangkan  bawahan  agar
mereka juga menjadi pemimpin.
Sebelum  Bass  mengindikasikan  ada  tiga  ciri  kepemimpinan
transformasional  yaitu  karismatik,  stimulasi  intelektual  dan  perhatian  seca ra
individual  mengindikasikan  inspirasional  termasuk  ciri-ciri  kepemimpinan
transformasional.  Dengan  demikian  ciri -ciri  kepemimpinan  transformasional  terdiri
dari karismatik, inspirasional, stimulasi intelektual dan perhatian secara individual.
  Karismatik.
Karismatik  menurut  Yukl  (1998)  merupakan  kekuatan  pemimpin  yang  besar
untuk  memotivasi  bawahan  dalam  melaksanakan  tugas.  Bawahan
mempercayai  pemimpin  karena  pemimpin  dianggap  mempunyai  pandangan,
nilai  dan  tujuan  yang  dianggapnya  benar.  Oleh  sebab  itu  pemimpin  yang
mempunyai  karisma  lebih  besar  dapat  lebih  mudah  mempengaruhi  dan
mengarahkan bawahan agar bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh
pemimpin.  Selanjutnya  dikatakan  kepemimpinan  karismatik  dapat  memotivasi
bawahan  untuk  mengeluarkan  upaya  kerja  ekstra  karena  mereka  menyukai
pemimpinnya.
8
  Inspirasional.
Perilaku pemimpin inspirational menurut Yukl & Fleet (dalam Bass, 1985) dapat
merangsang  antusiame  bawahan  terhadap  tugas-tugas  kelompok  dan  dapat
mengatakan hal-hal yang dapat menumbuhkan kepercayaan bawahan terhadap
kemampuan untuk menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan kelompok.
  Stimulasi Intelektual.
Menurut  Yukl  (1998;  Deluga;  1998;  Bycio,  dkk,  1995)  stimulasi  intelektual
merupakan upaya bawahan terhadap persoalan-persoalan dan mempengaruhi
bawahan  untuk  melihat  persoalan-persoalan  tersebut  melalui  perspektif  baru,
sedangkan  oleh  Seltzer  dan  Bass  (1990)  dijelaskan  bahwa  melalui  stimulasi
intelektual,  pemimpin  merangsang  kreativitas  bawahan  dan  mendorong  untuk
menemukan  pendekatan  - pe ndekatan  baru  terhadap  masalah-masalah  lama.
Jadi,  melalui  stimulasi  intelektual,  bawahan  didorong  untuk  berpikir  mengenai
relevansi  cara,  system  nilai,  kepercayaan,  harapan  dan  didorong  melakukan
inovasi  dalam  menyelesaikan  persoalan  melakukan  inovasi  dalam
menyelesaikan  persoalan  dan  berkreasi  untuk  mengembangkan  kemampuan
diri serta disorong untuk menetapkan tujuan atau sasaran yang menantang.
Kontribusi  intelektual  dari  seorang  pemimpin  pada  bawahan  harus  didasari
sebagai  suatu  upaya  untuk  memunculkan  kemampuan  bawahan.  Hal  itu
dibuktikan  dalam  penelitian  Seltzer  dan  bass  (1990)  bahwa  aspek  stimulasi
intelektual  berkorlasi  positif  dengan  extra  effort.  Maksudnya,  pemimpin  yang
dapat  memberikan  kontribusi  intelektual  senantiasa  mendorong  staf  supaya
mapu mencurahkan upaya untuk perencanaan dan pemecahan masalah.
  Perhatian secara Individual
Perhatian  atau  pertimbangan  terhadap  perbedaan  individual  implikasinya
adalah  memelihara  kontak  langsung  face  to  face dan  komunikasi  terbuka
dengan para pegawai. Zalesnik (1977; dalam Bass, 1985) mengatakan, bahwa
pengaruh  personal  dan  hubungan  satu  persatu  antara  atasan-bawahan
merupakan  hal  terpenting  yang  utama.  Perhatian  secara  individual  tersebut
dapat  sebagai  indentifikasi  awal  terhadap  para  bawahan  terutama  bawahan
yang  mempunyai  potensi  untuk  menjadi  seorang  pemimpin.  Sedangkan
monitoring merupakan  bentuk  perhatian  individual  yang  ditunjukkan  melalui
9
tindakan  konsultasi,  nasehat  dan  tuntutan  yang  diberikan  oleh  senior  kepada
yunior yang belum berpengalaman bila dibandingkan dengan seniornya.
Heater  dan  Bass  (1998)  mengatakan  bahwa  kepemimpinan
transformasional  lebih  menarik  bagi  karyawan  yang  berpendidikan  tinggi  karena
karyawan  yang  berpendidikan  tinggi  mendambakan  tantangan  kerja  yang  dapat
menambah  profesionalis  dan  pengembangan  diri.  Pendapat  tersebut  sejalan
dengan  pendapat  Keller  (1992)  bahwa  mereka  yang  mempunyai  tingkat
pendidikan tinggi mempunyai minat mendalam dalam menghadapi tantangan kerja
dan  bawahan  yang  mempunyai  pendidikan  tinggi  dapat  mendukung  memberi
respon  terhadap  kepemimpinan  transformasional.  Respon  positif  tersebut  dapat
mempengaruhi  tingkat  motivasi  bawahan  sehingga  bawahan  juga  akan
meningkatkan  upayanya  atau  melakukan  extra  effort untuk  mendapatkan  hasil
kerja  lebih  tinggi  dari  yang  diharapkan.  Sedangkan  bass  (1985)  mengatakan,
kepemimpinan  transformasional  lebih  memungkinkan  muncul  dalam  organisasi
yang memiliki kehangatandan kepercayaan yang tinggi juga berpendidikan tinggi,
diharapkan dengan pendidikan tinggi dapat menjadi orang yang kreatif.
b. Kepemimpinan Transaksional
Menurut Burns (1978) pada kepemimpinan transaksional, hubungan antara
pemimpin dengan bawahan didasarkan pada serangkaian aktivitas tawar menawar
antar  keduanya.  Karakteristik  kepemimpinan  transaksional  adalah  contingent
rewarddan management by-exception.
Pada  contingent  reward dapat  berupa  penghargaan  dari  pimpinan  karena  tugas
telah  dilaksanakan,  berupa  bonus  atau  bertambahnya  penghasilan  atau  fasilitas.
Hal ini  dimaksudkan  untuk  memberi  penghargaan  maupun  pujian untuk bawahan
terhadap  upaya-upayanya.  Selain  itu,  pemimpin  betransaksi  dengan  bawahan,
dengan  memfokuskan pada aspek kesalahan  yang dilakukan  bawahan,  menunda
keputusan  atau  menghindari  hal-hal  yang  kemungkinan  mempengaruhi  terjadinya
kesalahan.
Management  by-exception menekankan  fungsi  managemen  sebagai  kontrol.
Pimpinan  hanya  melihat  dan  mengevaluasi  apakah  terjadi  kesalahan  untuk
diadakan koreksi, pimpinan memberikan intervensi pada bawahan apabila standar
tidak  dipenuhi  oleh  bawahan.  Praktik  management  by-exception,  pimpinan
10
mendelegasikan  tanggungjawab  kepada  bawahan  dan  menindaklanjuti  dengan
memberikan  apakah  bawahan  dapat  berupa  pujian  untuk  membesarkan  hati
bawahan dan juga dengan hadiah apabila laporan yang dibuat bawahan memenuhi
standar.
Menurut Bycio dkk. (1995) kepemimpinan  transaksional adalah gaya kepemimpinan
di mana seorang pemimpin  menfokuskan perhatiannya pada transaksi interpersonal
antara  pemimpin  dengan  karyawan  yang  melibatkan  hubungan  pertukaran.
Pertukaran  tersebut  didasarkan  pada  kesepakatan  mengenai  klasifikasi  sasaran,
standar kerja, penugasan kerja, dan penghargaan.
IV. Urgensi Kepemimpinan Transformasional
Gary Yulk dalam Leadership in Organization(1989), amat gamblang memperlihatkan
karakter dari kepemimpinan transformatif itu.
Pertama,fokus kepemimpinan transformatif pertama-tama terarah pada kepentingan
bawahannya. Di sini animo utama dari pemimpin adalah perbaikan kondisi  bawahan.
Jadi ia membawa bawahankeluar dari kondisi keterpurukannya menuju kondisi yang
lebih  baik.  Upaya  itu  diwujudkan  dengan  kebijakan-kebijakan  yang  memungkinkan
perbaikan itu.
Kedua,  pemimpin  transformatif  berupaya  untuk  memberikan  perhatian  pada  nilai nilai  etis.  Artinya,  perhatian  pemimpin  transformatif  juga  terkait  dengan  perbaikan
kualitas  moralitas  dan  motivasi  dari  bawahan yang  dipimpinnya.  Dengan  kata  lain,
pemimpin  transformasional  menyuarakan  cita-cita  dan  nilai-nilai  moral  seperti
kemerdekaan,  keadilan,  tanggung  jawab  sosial  lewat  empati.  Landasannya  ialah
bahwa setiap orang berharga baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Karena itulah
ia  harus  diangkat  dan  dihargai  secara  total.  Jadi,  pemimpin  membangkitkan
kesadaran dari pengikut dengan menyerukan cita-cita yang lebih tinggi.
Ketiga, pemimpin  transformatif  tidak  menggurui,  melainkan  mengaktifkan  para
pengikut  untuk  melakukan  inovasi-inovasi  untuk  bangkit  dari  keterpurukannya..  Di
sini  Yulk  memperlihatkan  bahwa  seorang  pemimpin  bukan  sebagai  penentu
segalanya, melainkan pendamping dan partner bagi bawahannya
11
Keempat, kepemimpinan  transformatif  mengandung  muatan  stimulasi  intelektual.
Dalam  sistem  seperti  ini  intensi  penguasa  adalah  meningkatkan  kesadaran
pengikutnya  akan  masalah-masalah  konkret  dan  memandang  masalah  itu  dari
perspektif yang baru. Jadi, ada semacam konsistensi.
Kelima,kepemimpinan transformatif menghidupkan dialog dalam strata sosial lewat
komunikasi politik yang sehat. Dialog ini mengandaikan adanya keterbukaan dan visi
yang jelas dari seorang pemimpin.
V. Kepemimpinan Transformasional dan Kinerja
Sudarwan  (2004 :  137  – 138)  menyebutkan  secara  luas  adanya  penelitian
tentang  perilaku  kepemimpinan  dihubungkan  dengan  kepuasan  dan  produktifitas
pada  usaha  industri  pada  Pusat  penelitian  Universitas  Michigan.  Para  peneliti
menarik  kesimpulan  bahwa  ada  tiga  dimensi  perilaku  kepemimpinan  yang
mempunyai kaitan sangat erat dengan keberhasilan kelompok kerja, yaitu :
1.  Asumsi tentang peranan pimpinan, yaitu asumsi bila seorang pemimpin aktif
memberikan contoh, produktifitas kelompok akan meningkat.
Pemimpin  harus  mampu  menciptakan  kesesuaian  antara  kata  dan
perbuatan,  dan  memberi  contoh  yang  lebih  bermakna  daripada  hanya
sekedar  menyampaikan  kata-kata  atau  verbalisme.  Bila  seorang  pemimpin
hanya  memerankan  diri sebagai  anggota, produktifitas akan  menurun. Oleh
sebab  itu,  sebaiknya  pemimpin  adalah  orang  yang  mampu  membuat
rencana,  melaksanakan,  dan  mengadakan  kontrol  secara  serial  (berkala).
Pemimpin  yang  baik tidak  bersifat  kekanak-kanakan,  melainkan  mempunyai
kemantapan, berpandangan jauh  ke depan, dewasa, dan  sejumlah predikat
lainnya.
Dalam  konsep  kepemimpinan  transformasional,  seorang  pemimpin
dituntut  untuk  menunjukkan  kredibilitasnya  sebagai  seorang  pemimpin,
sehingga  seorang  pemimpin  dipercaya  oleh  bawahannya.  Begitu  penting
kredibilitas  ini  bagi  seorang  pemimpin,  kredibilitas  adalah  modal  terpenting
dalam  kepemimpinan.  Tanpa  kredibilitas  ini,  pimpinan  hanyalah  bekerja
berdasarkan  kekuasaan  sehingga  tidak  akan  mampu  menjalankan  secara
efektif.  Jika  bawahan  tidak  percaya  pada  pembawa  berita  apalagi
mempercayai  isi  beritanya.  Bagaimana  mungkin  seorang  pimpinan  bisa
12
mengarahkan pegawai ke arah tujuan, jika pimpinan tersebut tidak dipercaya
bawahannya.
2.  Ketelitian  pengawasan,  adalah  salah  satu  penentu  produktifitas  kelompok
kerja  di  dalam  organisasi,  apapun  bentuk  dan  jenis pekerjaan  yang  ada  di
organisasi itu.
Dalam  hubungannya  dengan  pengawasan,  hasil  penelitian
menunjukkan bahwa manusia organisasi akan lebih produktif bila kepadanya
diberikan  sejumlah  otonomi  atau  kesempatan  berdiri  sendiri  dalam
melaksanakan  tugasnya  dan  hal  ini  berhubungan  dengan  kepuasan
kelompok baik dari diri pengawas maupun anggota yang diawasi.
Dalam  konsep  kepemimpinan  transaksional,  Pemimpin
transformasional  adalah  pemimpin  yang  menstimulasi  intelektual
bawahannya.  Pemimpin  transformasional  akan menginspirasi  bawahannya
untuk maju, ia akan menjadikan bawahan untuk menjadi seorang pemimpin
juga tanpa merasa tersaingi.
Judge  dan  Locke  (1993)  menegaskan  pula  bahwa  gaya
kepemimpinan merupakan salah satu faktor penentu kepuasan kerja. Jenkins
menambahkan   bahwa  keluarnya  karyawan  lebih  banyak  disebabkan  oleh
ketidakpuasan  terhadap  kondisi  kerja  karena  karyawan  merasa  pimpinan
tidak  memberi  kepercayaan  kepada  karyawan,  tidak  ada  keterlibatan
karyawan dalam pembuatan keputusan, pemimpin berlaku tidak  objektif dan
tidak  jujur  pada  karyawan.  Pendapat  ini  didukung  oleh  Nanus  (1992)  yang
mengemukakan  bahwa  alasan  utama  karyawan  meninggalkan  organisasi
disebabkan  karena  pemimpin  gagal  memahami  karyawan  dan  pemimpin
tidak memperhatikan kebutuhan-kebutuhan karyawan.
Disinilah  peranan  pemimpin  transformasional  dalam  melibatkan
secara  aktif  bawahannya dalam  proses  kinerja  manjadi  sangat  penting . Bill
Marriot,  pendiri  rangkaian  hotel  bertaraf  internasional,  Hotel  Marriot,
memahami  pentingnya  mendengarkan  masukan  dari  karyawan,
memperhatikan, menghargai dan membina hubungan baik dengan karyawan.
Bill Marriot percaya bahwa karyawan yang merasa diperhatikan, didengarkan
dan  dihargai  akan  merasa  hasil  kerja  mereka  tidak  sia-sia.  Mereka  dengan
sendirinya  akan  melakukan  yang  terbaik  dalam  melayani  pelanggan  juga
dengan  kualitas  layanan  nomor  satu.  Semua  ini  akhirnya  akan  memberi
kontribusi positif bagi perusahaan.
13
Dalam  konsep  Total  Quality  Manajemen,  diantara  3  prinsip  mutu  yang
merupakan  konsep  dasar  dari  total  quality  adalah  keterlibatan  total.
Pendekatan ini dimulai dengan kepemimpinan manajemen senior yang aktif
dan  mencakup  usaha  yang  memanfaatkan  bakat  semua  karyawan  dalam
suatu  organisasi  untuk  mencapai  suatu  keunggulan  kompetitif  (Competitive
Advantage)  di  pasar  yang  dimasuki.  Karyawan  pada  semua  level  diberikan
wewenang/kuasa untuk memperbaiki output melalui kerjasama dalam struktur
kerja yang fleksibel untuk memecahkan persoalan, memperbaiki proses dan
memuaskan pelanggan.  Perusahaan juga akan memperoleh keuntungan
dengan melibatkan karyawan dalam memperbaiki proses perusahaan, antara
lain :
a.  Karyawan  akan  menikmati  lingkungan  pekerjaan,  sehingga  akan
tetap  tinggal  dalam jangka  waktu  yang lama  , sehingga  organisasi
akan menghemat biaya yang berkaitan dengan turnover karyawan
b.  Karyawan  yang  diperhatikan,  akan  mendapatkan  kepuasan  dalam
bekerja,  sehingga  akan  memberikan  hasil  pekerjaan  yang  terbaik
sehingga hal ini akan berimbas pada performace perusahaan.
c.  Adanya perbaikan terus menerus terhadap kualitas perusahaan.
3.  Orientasi  terhadap  bawahan,  yaitu  perhatian  dari  atasannya  untuk  dapat
meningkatkan  produktifitas  kerja.  Hal  ini  dapat  ditempuh  dengan  jalan
memberikan  perhatian  khusus  pada  masalah  kesehatan,  mengurangi
hukuman  atas  kesalahan  dan  gaya  kepemimpinan  yang  sesuai  dengan
kebutuhan  anggotanya.  Kebalikan  dari  orientasi  kepada  bawahan  adalah
orientasi terhadap tugas, yaitu pemimpin tidak melihat apapun dari bawahan
kecuali pelaksanaan pekerjaan dan penilaian kinerja hanya ditentukanm atas
keberhasilan seseorang melaksanakan pekerjaanya.
Dalam  kaitan  dengan  Kepemimpinan  transaksional,  pemimpin
transaksional menuntut adanya perhatian secara Individual seorang pimpinan
terhadap  bawahan.  Perhatian  atau  pertimbangan  terhadap  perbedaan
individual implikasinya adalah me melihara kontak langsung  face to facedan
komunikasi  terbuka  dengan  para  pegawai.  Zalesnik  (1977;  dalam  Bass,
1985)  mengatakan,  bahwa  pengaruh  personal  dan  hubungan  satu  persatu
antara  atasan-bawahan  merupakan  hal  terpenting  yang  utama.  Perhatian
secara  individual  tersebut  dapat  sebagai  indentifikasi  awal  terhadap  para
bawahan terutama bawahan yang mempunyai potensi untuk menjadi seorang
pemimpin.  Sedangkan  monitoring merupakan  bentuk  perhatian  individual
14
yang  ditunjukkan  melalui  tindakan  konsultasi,  nasehat  dan  tuntutan  yang
diberikan  oleh  senior  kepada  yunior  yang  belum  berpengalaman  bila
dibandingkan dengan seniornya.
Dan  diantara  elemen  pendukung  dalam  keberhasilan  TQM  juga
ditekankan adanya komunikasi, dimana komunikasi kepada seluruh karyawan
mengenai suatu  komitmen  yang  sungguh-sungguh  untuk  melakukan
perubahan  dalam  usaha  peningkatan  mutu.  Secara  ideal  manajer  harus
bertemu  secara  pribadi  dengan  karyawan  untuk  menyampaikan  informasi,
memberi pengarahan dan menjawab pertanyaan dari setiap karyawan.
Uraian  diatas  menunjukkan  kaitan  erat  antara  pemimpin  transformasional
dengan kinerja suatu organisasi
VI. Kesimpulan
Jika seorang pemimpin menerapkan gaya Kepemimpinan transformasional
akan  menunjukkan hasil  yang lebih  baik dibanding  kepemimpinan  transaksional.
Hal  tersebut  karena  praktik  gaya  kepemimpinan  transformasional  mampu
membawa  perubahan-perubahan  yang  lebih  mendasar  seperti  perluasan  nilainilai,  tujuan  dan  kebutuhan  bawahan  dan  perubahan-perubahan  tersebut
berdampak  pada  upaya  bawahan  karena  dengan  terpenuhinya  kebutuhan  yang
lebih tinggi membuat bawahan mempertinggi motivasi dalam mencapai hasil kerja
yang lebih optimal dan membuat bawahan berupaya lebih keras  denganbekerja
lebih baik.
15
Sumber Acuan
Danim, Sudarman (2004), “Motivasi Kepemimpinan dan Efektivitas Kelompok”, Asdi
Mahasatya, Jakarta
Daryanto,  Arif,  (2005),  “Model  Kepemimpinan  dan  Kepemimpinan  Agribisnis Masa
Depan”.
Mujiasih, Endah & Sutrisno Hadi, “Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional”
Goleman, Daniel dkk(2005), “Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Emosi”, Edisi
Ketiga, Gramedia, Jakarta
Robert N Anthony & Vijay Govindarajan (2000) “ Sistem Pengendalian Manajemen”,
Salemba Empat, Jakarta
Sudarto,  Dawam  &  Herman  Matondang,  (2002),  Materi  Pokok  Pengelolaan
Keuangan Negara, BPLK, Jakarta
Sihotang,  Kasdin (2003),  “Urgensi  Pemimpin  Transformatif”,  Suara  Pembaharuan
Daily
Wahyusumidsjo, (1999) “Kepemimpinan dan Motivasi”, Graha Indonesia, Jakarta
Sumber online:
http://www.pemimpinunggul.com
http://www.depdiknas.go.id
http://www.pshycology.com

*)Penulis adalah pegawai Seksi Pencairan Dana KPPN Rantauprapat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar