Oleh:
Pendahuluan
Reformasi tata pemerintahan telah menjadi agenda
yang paling mendesak dewasa ini untuk menjawab berbagai tantangan di sektor
publik. Namun, apapun yang dilakukan atas nama reformasi, diharapkan pemerintah
senantiasa memegang teguh tiga prinsip yang berlaku. Pertama, harus ada responsive
governance: pemerintah sedapat mungkin melakukan hal-hal yang benar (do
the right things). Kekeliruan seringkali terjadi karena pemerintah
melaksanakan hal-hal yang tidak benar menurut kacamata masyarakat. Dikatakan
demikian karena acapkali pelayanan yang diberikan tidak sejalan dengan
preferensi publik. Kedua, harus ada responsible governance:
pemerintah harus mengerjakan dengan benar (do it right) hal-hal yang
benar tersebut. Dengan kata lain, pengelolaan berbagai sumber daya, khususnya
fiskal, harus dilakukan secermat mungkin. Ketiga, harus ada prinsip accountable
governance, yakni pemerintah harus akuntabel kepada para pejabat terpilih (elected
official). Hal ini karena para pejabat terpilih dicitrakan sebagai
representrasi dari aspirasi masyarakat.
Ketika desentralisasi menjadi bagian integral dari
paket reformasi sektor publik, sudah seharusnya proses implementasinya
berlandaskan pada ketiga prinsip di atas. Pengabaian atau penelantaran terhadap
satu diantara ketiga prinsip diatas akan kian menguatkan pandangan publik bahwa
pemerintah turut menjadi a part of problem, bukan a part of
solution dalam keseluruhan proses pembangunan. Dalam konteks inilah
kemudian perlu ada kiat-kiat jitu untuk menata struktur, peran, fungsi, dan
kewenangan setiap level pemerintah dalam mendukung kemajuan sosial.
Dikaitkan dengan gelombang reformasi di berbagai
belahan dunia, setidak-tidaknya berbagai upaya yang dilakukan konvergen pada
satu kesimpulan yakni harus ada transfer tanggung jawab dan sumber daya dari
pemerintah pusat kepada daerah. Hal ini demi mendukung tercapainya nilai-nilai
demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance).
Desentralisasi pun kemudian menjadi tool terbaik untuk membawa
pemerintah lebih dekat kepada warga negara, memperbaiki pembuatan keputusan
publik, dan memberikan pelayanan publik secara lebih efektif.
Permasalahan
Ketika Indonesia memasuki Orde Reformasi, spirit
untuk menerapkan desentralisasi dan otonomi daerah secara luas, nyata, dan
bertanggung jawab kian nyata seiring dengan diimplementasikannya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Tak
berselang lama dilakukan revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah
dengan mengganti kedua undang-undang tersebut dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah[1].
Sayangnya, setelah lebih dari 10 tahun
desentralisasi dan otonomi daerah diimplementasikan ternyata tujuan utamanya
yakni untuk menyejahterakan daerah melalui pemerataan belum tercapai. Bahkan
angka disparitas ekonomi antar daerah telah sedemikian dalam jurangnya (Kompas,
22 Mei 2009). Berbagai permasalahan masih saja dijumpai diantaranya: 1) belum
jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, 2) berbedanya
persepsi para pelaku pembangunan terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah, 3) masih rendahnya kerjasama antar pemerintah daerah, 4) belum
terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif dan efisien, 5) masih
terbatas dan rendahnya kapasitas aparatur pemerintah daerah, 6) masih
terbatasnya kapasitas keuangan daerah, dan 7) pembentukan daerah otonom baru
(pemekaran wilayah) yang masih belum sesuai dengan tujuannya.
Desentralisasi: Apa dan Mengapa?
Teorema desentralisasi (decentralization theorem)
dipopulerkan oleh Oates (1972), berangkat dari suatu pemikiran bahwa “setiap
pelayanan publik mestinya disediakan oleh yuridiksi tertentu yang memiliki
kontrol atas wilayah geografi minimum yang akan menginternalisasi manfaat dan
ongkos provisi tertentu.” Hal ini mengingat: a) pemerintah daerah memahami apa
yang menjadi concernpenduduknya; b) pembuatan keputusan akan lebih
responsif kepada pihak-pihak yang diberikan pelayanan, dengan demikian akan ada
tanggung jawab anggaran dan efisiensi, khususnya apabila pendanaan pelayanan
pun didesentralisasikan; c) layer-layer yang sekiranya tidak bermanfaat dapat
dieliminir; dan d) kompetisi dan inovasi akan ada di antara berbagai yuridiksi.
Disamping itu, pemerintah pusat tidak mungkin dapat mencapai keadilan sosial
dan ekonomi masyarakat hanya dengan mengandalkan kapasitasnya sendiri.
Pemerintah yang inovatif, karenanya, berupaya semaksimal mungkin mentransfer
kewenangan, risorsis, dan tanggung jawab kepada pemangku kepentingan di tingkat
lokal sekaligus sebagai upaya membuka keran demokrasi di tingkat lokal yang
kerap kali tersumbat oleh dominasi elit di tingkat pusat dan daerah. Dengan
demikian tidak ada penelantaran terhadap berbagai aspirasi daerah dalam segenap
proses pembangunan.
Teori yang menegaskan pentingnya desentralisasi di
tingkat lokal dan peran yang kuat dari pemerintah daerah selalu menekankan
pentingnya nilai-nilai efisiensi, akuntabilitas, dan otonomi. Stigler (1957),
misalnya, mengedepankan 2 prinsip: 1) semakin dekat pemerintah yang
representatif kepada masyarakat, semakin baik kinerja pemerintah tersebut; 2)
publik berhak untuk memilih macam dan jumlah pelayanan publik yang
diinginkannya. Kedua prinsip ini menegaskan bahwa pembuatan keputusan
seharusnya mengambil tempatnya pada tingkat terendah pemerintah dengan tujuan
agar tercapai efisiensi dalam alokasi barang dan jasa publik.
Kalau dilacak dari perkembangan historisnya, konsep
desentralisasi mengalami pergeseran makna dan sasaran, dan bentuknya pun
variatif sejalan dengan pergeseran paradigma yang dianut. Sesudah PD II,
persisnya pada era 1970-an dan 1980-an, desentralisasi lebih dipahami sebagai
dekonsentrasi struktur hirarki pemerintah dan birokrasi. Gelombang kedua, yakni
pertengahan tahun 1980, pemahaman tentang desentralisasi diperluas hingga
mencakup pembagian kekuasaan politik, demokratisasi, dan liberalisasi pasar
yang memperluas pembuatan keputusan sektor privat. Pada akhir era 1980-an,
berbagai pemerintah kemudian mengedepankan 3 bentuk utama desentralisasi:
dekonsentrasi, devolusi, dan delegasi. Dekosentrasi dimaksudkan untuk menggeser
tanggung jawab administrasi dari pusat kepada level regional dan lokal dengan
menempatkan pejabat di daerah dan mentransfer kewenangan pembuatan keputusan
kepada mereka. Devolusi ditujukan untuk memperkuat pemerintah daerah dengan
cara dijaminnya kewenangan, tanggung jawab, dan risorsis untuk menyediakan
pelayanan dan infrastruktur, melindungi kesehatan dan keamanan publik, serta
merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan daerah. Sedangkan delegasi
terjadi ketika pemerintah pusat menyerahkan kewenangan manajemen untuk
fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi-organisasi semi otonomi dan badan
usaha milik negara maupun lembaga-lembaga perencana daerah.
Sejalan dengan perluasan maknanya, desentralisasi
kemudian terbagi menjadi empat bentuk: desentralisasi administrasi, politik,
fiskal, dan ekonomi. Desentralisasi administrasi mencakup struktur dan
birokrasi pemerintah pusat, delegasi kewenangan dan tanggung jawab dari
pemerintah pusat kepada lembaga-lembaga pemerintah semi-otonomi, dan kooperasi
lembaga-lembaga pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsi yang similar.
Desentralisasi politik mencakup berbagai organisasi dan prosedur untuk
meningkatkan partisipasi warga negara dalam menyeleksi para pejabat politik dan
dalam pembuatan kebijakan publik, serta perubahan dalam struktur pemerintah
melalui devolusi kekuasaan dan kewenangan kepada unit-unit pemerintah daerah.
Desentralisasi fiskal meliputi adanya berbagai sarana dan mekanisme baik
terkait dengan fiscal cooperation, fiscal delegation,
dan fiscal autonomy. Sedangkan desentralisasi ekonomi
mencakup liberalisasi pasar, deregulasi, privatisasi BUMN, dan dianutnya
pola-pola kemitraan sektor publik-privat.
Pro dan Kontra Kebijakan Desentralisasi
Pandangan Pro Desentralisasi
Implementasi kebijakan desentralisasi di berbagai
negara disikapi secara beragam oleh berbagai pihak. Bagi para pendukung
kebijakan ini, desentralisasi diyakini membantu percepatan pembangunan ekonomi,
meningkatkan akuntabilitas politik, dan meningkatkan partisipasi publik dalam
tata pemerintahan. Desentralisasi juga dapat mendobrak bottleneck yang
selama ini ada dalam birokrasi yang “terlalu” hirarkis dan menyederhanakan
prosedur yang terlalu kompleks serta menjamin berbagai keputusan dibuat dan
diimplementasikan secara lebih cepat. Disamping itu, desentralisasi dapat
meningkatkan finansial pemerintah daerah dan padanya ada fleksibilitas untuk
merespon secara lebih efektif berbagai kebutuhan dan tuntutan daerah[2].
Namun jelas tidaknya kebijakan desentralisasi
sangat tergantung pada apakah seseorang mengamatinya dari atas ke bawah (top
down) atau dari bawah ke atas (bottom up) (Bird, 2000). Jika dilihat
dari perspektif bottom up, desentralisasi umumnya menekankan nilai
politis – misalnya, perbaikan pemerintahan dalam kaitannya dengan kemauan
menerima saran dan partisipasi politik lokal – dan efisiensi alokasi dalam arti
perbaikan kesejahteraan. Hasilnya, dukungan yang lebih luas kepada pemerintah
dan memperbaiki stabilitas politik. Permasalahan menjadi tidak begitu jelas
ketika desentralisasi dilihat dari perspektif top down. Dasar
pemikiran desentralisasi, misalnya, meringankan beban pusat dengan mengalihkan
defisit (atau paling tidak sebagian dari tekanan politis atas defisit) ke
bawah. Kriteria utama untuk mengevaluasi desentralisasi adalah seberapa baik
hal ini dapat membantu tercapainya tujuan-tujuan kebijakan nasional.
Pernyataan di atas dipertegas kembali oleh Cheema
(2005), bahwa desentralisasi dapat mendorong tercapainya nilai-nilai demokrasi
dan good governance dalam beberapa cara. Pertama, tersedianya
kerangka kerja bagi masyarakat pada level lokal untuk mengelola diri mereka
sendiri dan berpartisipasi dalam pembuatan keputusan lokal. Semakin tinggi
tingkat partisipasi publik di tingkat lokal, makin tinggi pula derajat
legitimasi politik pemerintah. Kedua, desentralisasi merupakan sarana (means)
yang lebih efektif untuk meningkatkan akuntabilitas pemimpin politik dan
birokrat. Sebagai konsekuensinya, ada perbaikan akses bagi publik terhadap
pelayanan dan fasilitas yang diinisiasi oleh pemerintah. Ketiga, desentralisasi
mendorong proses pelembagaan budaya demokrasi dengan cara memberikan ruang yang
cukup bagi kelompok dan individu di tingkat lokal untuk membuat
keputusan-keputusan politik dan anggaran. Kalau desentralisasi diterapkan
secara cermat, praktis berbagai persoalan di birokrasi seperti red-tapedan
kekakuan prosedur dapat direduksi dan birokrasi lebih mendasarkan dirinya pada
keahlian, pengetahuan, dan pengalaman dari masyarakat lokal. Juga, kalau
diterapkan secara lebih hati-hati, desentralisasi mempermudah arus pertukaran
informasi di tingkat lokal. Keempat, dalam kaitannya dengan kemiskinan,
desentralisasi menyiapkan kerangka kerja (framework) yang lebih baik
untuk proses eradikasi kemiskinan. Kelima, desentralisasi mendorong terciptanya
mekanisme check and balance di antara pemerintah pusat dan
unit-unit pemerintah dan administrasi di tingkat daerah – suatu karakter kunci
demokrasi dan tata pemerintahan yang baik. Keenam, transfer kewenangan dan
risorsis dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan memberikan peluang
yang cukup bagi warga negara lokal untuk memainkan peran secara langsung dalam
proses pembangunan; sebagai katalis pembangunan dan proses perubahan, para
warga negara di tingkat lokal dapat memutuskan skala prioritas berbagai
pelayanan publik.
Dikaitkan dengan konteks governance,
desentralisasi dipastikan akan meningkatkan kapasitas pemerintah daerah, sektor
privat, dan organisasi masyarakat madani. Desentralisasi memberikan ruang yang
lebih luas bagi representasi politik terhadap kelompok-kelompok politik, etnik,
keagamaan, dan kultural tanpa menimbulkan destabilitasi negara. Desentralisasi
kemudian menciptakan ketiga pilar institusi – pemerintah, sektor privat, dan
organisasi masyarakat madani untuk bisa menjadi lebih kreatif dan inovatif
dalam merespon kebutuhan-kebutuhan publik. Dalam negara yang desentralistis,
terjadi perimbangan pembangunan antar daerah, memberdayakan masyarakat, dan
memobilisasi sumber daya privat untuk pembangunan berbagai fasilitas dan
infrastruktur. Karenanya, desentralisasi harus dipahami sebagai sebuah
instrumen untuk membangun kapasitas institusi di dalam pemerintah daerah dan
organisasi masyarakat madani demi mencapai Millennium Development Goals.
Pandangan Kontra Desentralisasi
Meskipun memiliki manfaat seperti dikemukakan di
atas, mewujudkan konsep desentralisasi dalam tata pemerintahan yang demokratis
tidak selamanya berjalan mulus atau tanpa hambatan. Disamping banyak manfaat
yang bisa dipetik, dalam desentralisasi tersemai beberapa persoalan pokok. Di
banyak negara berkembang, desentralisasi berpotensi meningkatkan elit
capture dalam pemerintah daerah. Pemerintah daerah tidak mampu
meningkatkan risorsis finansial yang memadai untuk menunjang pelayanan secara
lebih efektif. Disamping itu, disparitas ekonomi dan sosial menjadi lebih
menganga serta korupsi dan nepotisme di tingkat daerah tumbuh secara masif[3].
Dalam konteks fiskal, misalnya, tak satu pun dari
manfaat-manfaat seperti yang dikemukakan terdahulu akan berhasil dicapai oleh
negara yang preferensi penduduknya hampir tidak mungkin diakomodasi dalam
anggaran pemerintah, dan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah mendekati nihil
(Bird & Vaillancourt, 2000). Dari perspektif ini, desentralisasi cenderung
meningkatkan biaya, mengurangi efisiensi pelayanan pemerintah, dan mungkin akan
menyebabkan kesenjangan yang lebih parah serta terjadinya ketidakstabilan
makroekonomi (Prud’hommme, 1995).
Sejumlah temuan juga menunjukkan pengaruh
desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi, partisipasi publik[4], dan pemberian layanan publik. Meskipun desentralisasi
seringkali dikaitkan dengan argumentasi allocative-efficiency,
temuan empiris menunjukkan hubungan yang terbalik antara desentralisasi dan
variabel pembangunan[5]. Beberapa studi bahkan tidak menemukan keterkaitan
langsung antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi. Bahkan beberapa
studi lain kian menegaskan bahwa desentralisasi fiskal justru membuat
pertumbuhan ekonomi menjadi lebih lambat dan ketimpangan fiskal menjadi lebih
besar[6]. Hal ini ditopang dengan adanya indikasi yang kuat bahwa
desentralisasi cenderung meningkatkan pengeluaran infrastruktur publik namun
memiliki skala ekonomi yang kecil[7].
Terlepas dari adanya pro dan kontra, seperti yang
dikemukakan pada awal bagian tulisan ini, sejauh ini banyak negara masih
memandang desentralisasi sebagaitool terbaik untuk mendekatkan
pelayanan kepada publik sebagai penerima manfaat. Tinggal bagaimana kemudian
pemerintah dan masyarakat mampu mengawal proses desentralisasi agar berjalan di
trek yang tepat sesuai dengan disain kebijakan yang semula dibuat oleh para
perumus kebijakan.
Desentralisasi: Pengalaman di Indonesia
Ditinjau dari aspek histori, otonomi daerah
dikenalkan sejak tahun 1903. Namun pengakuan secara legal formal untuk kali
pertama pemberlakuan otonomi daerah persis ketika pembentukan Komite Nasional
Daerah (KND) untuk mewujudkan politik desentralisasi. Berikutnya, KND berubah
menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD). Bersama-sama dengan pemimpin
daerah, BPRD menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerah.
Pada tanggal 23 November 1945, pemerintah
mengeluarkan UU No. 1 tahun 1945 yang berlaku di seluruh Indonesia. Dengan UU
ini, pemerintah menjalankan politik desentralisasi dan memberikan hak otonomi
kepada daerah walaupun politik dekonsentrasi dilaksanakan pula. Namun,
kebimbangan muncul ketika otonomi daerah dijalankan tidak jelas. Dengan UU ini,
kedudukan kepala daerah sangat kuat. Tidak sekadar berwenang mengatur rumah
tangga daerah bersama dengan BPRD, ia sekaligus perpanjangan tangan pemerintah
pusat.
Hampir 3 tahun diberlakukan, pemerintah kemudian
mengeluarkan UU No. 22 tahun 1948. Dalam UU ini, otonomi daerah dipahami dari
dua aspek. Pertama, otonomi penuh, yakni penyerahan penuh hak otonomi, tak
terbatas pada kewenangannya, tetapi juga pada pelaksanaannya. Kedua, otonomi
tidak penuh, yang dikenal sebagai tugas pembantuan (medebewind). Namun
UU ini tidak bisa dilaksanakan sepenuhnya di seluruh wilayah NKRI karena masih
dalam suasana perang. Selain itu, tidak semua orang mendukung persamaan
perlakuan pada pemerintahan daerah.
Setelah suasana relatif stabil, pemerintah kemudian
mengeluarkan UU No. 1 tahun 1957. UU ini diperkuat dengan UU No. 6 tahun 1959
untuk menghilangkan korps pamong praja yang menjalankan pemerintahan umum.
Namun, semangat ini tak dapat sepenuhnya terwujud. Kepala daerah tetap menjadi
alat daerah dan alat penguasa sekaligus.
Pemerintahan ORLA memang banyak menghasilkan dan
mengubah UU tentang otonom daerah. Ini dilandasi oleh keinginan untuk
menghargai pluralisme daerah yang membentuk NKRI. Pada tahun 1965 kemudian
disempurnakan dengan UU No. 18 tahun 1965. UU ini memberikan keleluasaan kepala
daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, bahkan bisa diberikan kewenangan
lebih oleh pemerintah pusat.
Pada jaman ORBA, melalui Ketetapan No. IV/TAP
MPR/1973, prinsip otonomi seluas-luasnya sebagaimana tertuang dalam Ketetapan
No. XXI/MPR/1966 diubah menjadi otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Hal
ini kemudian menjadi acuan dalam pembentukan UU No. 5 tahun 1974 tentang
Pemerintahan Daerah. UU ini bertekad mewujudkan otonomi daerah yang mengancam
ketahanan politik. UU ini meniitikberatkan pelaksanaan Otda pada daerah tingkat
II (kabupaten/kota) seperti yang dilanjutkan dengan UU lain pada era Reformasi
yaitu UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004. Dalam UU No. 5 tahun 1974,
pelaksanaan Otda berdasarkan asas desentralisasi dan dilaksanakan bersama
dengan dekonsentrasi. Namun, yang nyata dirasakan adalah sentralisasi dalam
pelaksanaan administrasi Pemerintah Indonesia. Keberagaman di daerah hampir tak
terwadahi.
Secara ringkas dapat dilihat pada tabel berikut:
UU terkait dengan
Desentralisasi dan Otonomi Daerah
1
|
UU No. 1 tahun 1945 tentang Peraturan mengenai
Komite Nasional Daerah
|
2
|
UU No. 22 tahun 1948 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah
|
3
|
UU Negara Indonesia Timur No. 44 tahun 1950
|
4
|
UU No. 1 tahun 1957 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah
|
5
|
UU No. 6 tahun 1959 tentang Penyerahan Urusan
Pemerintahan Umum kepada Daerah Otonom
|
6
|
UU No. 18 tahun 1965 tentang Desentralisasi
|
7
|
UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah
|
8
|
UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
|
9
|
UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
|
10
|
UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah
|
11
|
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
|
12
|
UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
|
Perlunya Pergeseran Paradigma dari Government
Decentralization keDecentralized Governance
Sejalan dengan pergeseran paradigma dari pemerintah
(government) kepada tata pemerintahan (governance), telah terjadi
reorientasi makna desentralisasi itu sendiri. Desentralisasi tidak sekadar
dilihat sebagai transfer kewenangan di dalam institusi pemerintah (government
decentralization), tetapi juga harus dipahami secara luas sebagai pembagian
kekuasaan, kewenangan, dan tanggung jawab di antara berbagai institusi tata
pemerintahan (decentralized governance) (Cheema and Rondinelli, 2007).
UNDP menggunakan istilah decentralized
governance untuk menggambarkan adanya pembagian kekuasaan, kewenangan,
dan tanggung jawab di antara pilar-pilar tata pemerintahan (pemerintah, privat,
dan publik). Dalam konteks ini, desentralisasi kemudian mencakup: 1) vertical
decentralization atau desentralisasi dari pusat kepada daerah; dan 2) horizontal
decentralization atau pembagian kekuasaan, kewenangan, dan tanggung
jawab bersama dengan sektor privat dancivil society. Desentralisasi
horisontal dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat di tingkat lokal untuk
menentukan rencana, mengelola, dan mengimplementasikan berbagai kebijakannya
(Kauzya, dalam Rondinelli, 2003).
Dengan demikian, menjadi sangat relevan kemudian perlu
ada penguatan kapasitas tata kelola daerah (local governance). Namun
sebelumnya perlu dilakukan analisis stakeholders. Seperti diketahui
bersama, di dalam tata kelola daerah, ada beragam pemangku kepentingan dalam
sektor publik, sektor privat,civil society, dan lembaga donor baik pada
level lokal, regional, nasional, maupun internasional.
Namun pemerintah daerah sebagai ujung tombak dari
tata kelola daerah harus memainkan perannya secara proporsional. Peran ini
dapat ditinjau dari beberapa perspektif. Pertama, pemerintah daerah lebih
dilihat sebagai buatan tangan (haindmaden) dari suatu tata pemerintah
yang lebih tinggi. Dalam kebanyakan pemerintah federal seperti di Kanada dan
Amerika Serikat, pemerintah daerah merupakan perluasan dari pemerintah negara
bagian (state governments). Pengembangan kebijakan dan standar kinerja
dan pelayanan ditentukan pada level nasional. Disamping itu, pengawasan proses
implementasi dilakukan pada level negara bagian (state). Juga, pelayanan
disediakan oleh pemerintah daerah atau oleh pemerintah regional.
Kedua, pemerintah daerah adalah fasilitator
independen yang memikul tanggung jawab untuk menciptakan nilai publik (public
value). Hal ini terutama jika dilihat dari perspektif New Public
Management (NPM). Dua kriteria yang ada dalam perspektif ini yaitu: 1)
apa yang seharusnya dikerjakan oleh pemerintah; dan 2) bagaimana ia
mengerjakannya dengan lebih baik.
Ketiga, pemerintah daerah merupakan suatu institusi
yang lebih mengedepankan kepentingan sendiri. Pandangan ini terutama dilihat
dari the public choice theory. Bailey (1999) kemudian mengembangkan
4 model pemerintah daerah: 1)the benenvolent despot model, yakni suatu
pemerintah daerah paham bagaimana cara dan tindakan terbaik untuk memaksimalkan
kesejahteraan penduduknya; 2)the fiscal exchange model, suatu pemerintah
daerah menyediakan pelayanan yang konsisten dengan kemampuan penduduknya untuk
membayar; 3) the fiscal transfer model, suatu pemerintah daerah
yang berfokus pada penyediaan pelayanan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial;
dan 4) the leviathan model, yakni pemerintah daerah terjebak oleh
politisi dan birokratnya yang cenderung mengutamakan kepentingan pribadinya,
dan ini sejalan dengan perspektif public choice.
Apa yang Harus Disiapkan?
Setiap entitas dalam tata pemerintahan perlu
menyadari bahwa meskipun menggunakan format desentralisasi yang sama, derajat
kesuksesan yang dicapai bisa berbeda-beda oleh setiap pemerintah daerah.
Perbedaan ini terjadi karena sistem dan mandat dalam setiap tingkatan
pemerintah bisa saja berbeda satu dengan yang lain. Bisa juga derajat
desentralisasi politik dan legitimasi dari akar rumput di setiap daerah
berbeda. Perbedaan kinerja desentralisasi juga karena setiap otoritas lokal
memiliki derajat otonomi yang berbeda khususnya terkait dengan penerimaan dan
pengeluaran daerah. Apalagi terdapat perbedaan kapasitas fiskal setiap daerah
untuk menunjang pelayanan kepada publik.
Dalam penelitiannya di Meksiko, Merilee Grindle
menganalisa derajat penerimaan berbagai pemerintah daerah terhadap tanggung
jawab dan risorsis yang diserahkan oleh pemerintah pusat. Ia kemudian mengkaji
dampak dari 4 faktor – kompetisi politik, kapasitas pemimpin politik untuk
memobilisasi sumber daya, pengenalan metode baru dan keahlian administrasi
publik, dan tuntutan dan partisipasi masyarakat madani – pada kapasitas
pemerintah daerah untuk menjalankan amanah secara lebih efisien, efektif, dan
responsif.
Terkait dengan implementasi kebijakan
desentralisasi di beberapa negara (Philipina, Uganda, Brazil, dan Indonesia),
ada beberapa pelajaran yang bisa ditarik dari pengalaman yang ada. Pertama,
berkenaan dengan lingkungan politik dan kerangka legal nasional.
Faktor ini turut memengaruhi bentuk dan isi (content) kebijakan
desentralisasi. Devolusi politik kepada pemerintah akan menjadi terhambat
apabila sistem politik masih menyimpan benih-benih otoritarian. Juga yang tidak
pentingnya adalah karakteristik struktur kekuasaan daerah dan sejauh mana
penerima manfaat (beneficiaries) di tingkat lokal terkelola dengan baik.
Di beberapa negara seperti Pakistan, Brazil, dan Afrika Selatan,
ketidakmerataan kepemilikan tanah di pedesaan menyebabkan terjadinya dominasi
dalam pembuatan keputusan politik dan ekonomi. Dalam lingkungan tertentu,
otonomi politik dan ekonomi lokal berubah menjadi kontrol – lambat laun menjadi
tirani – oleh elit-elit lokal.
Kedua, berkenaan dengan fungsi dan
risorsis yang dimiliki pemerintah daerah. Salah satu pembagian fungsi dan
tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah adalah adanya keuntungan kompetitif
(competitive advantage) yang diterima dari penyediaan pelayanan
tertentu. Ada semacam kebutuhan bersama bagi keduanya agar pelayanan tertentu
yang diberikan oleh pusat mampu menangkap apa yang menjadi preferensi dan
prioritas setiap pemerintah daerah, dan bahwa inisiatif yang digagas harus
mampu menjamin pemerataan antar wilayah melalui paket-paket kebijakan
redistribusi. Distribusi fungsi dan tanggung jawab memang perlu namun tidak
cukup untuk menciptakan kemitraan yang efektif diantara pemerintah pusat dan
daerah. Pemerintah daerah pun memerlukan risorsis yang proporsional dengan
tanggung jawab yang ada padanya. Disini kemudian mekanisme transfer dari
pemerintah pusat kepada daerah bisa menjadi tool yang
esensial.
Ketiga, perlunya akuntabilitas pemerintah
daerah dan kelompok politik.Seberapa jauh derajat akuntabilitas
pemerintah daerah kepada konstituennya merupakan suatu parameter keberhasilan
kebijakan desentralisasi. Parameter lainnya adalah aturan-aturan elektoral yang
memungkinkan partisipasi dan representasi, keterlibatan aktif dari civil
society dalam proses politik lokal, serta sistem administrasi di daerah yang
berjalan efektif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat daerah.
Keempat, perlunya penguatan kapasitas pada
level pusat. Agar proses implementasi kebijakan desentralisasi sampai di
tujuannya, pemerintah pusat perlu menyiapkan panduan dan pelatihan untuk
mendukung pemerintah daerah. Manakala kapasitas pemerintah pada level pusat
diragukan, besar kemungkinan proses desentralisasi yang begitu cepat tidak akan
mencapai sasarannya. Kapasitas di sini misalnya mengawal Undang-undang dan
peraturan lainnya, penyediaan pelayanan sosial, pembuatan sistem dan proses
yudisial, serta pengelolaan sumber daya alam.
Kelima, perlunya kapasitas administrasi
di tingkat daerah. Ada kecenderungan bahwa pemerintah lebih mengedepankan
desentralisasi dalam pembuatan keputusan maupun manajemen dan administrasi
dengan sedikit menaruh perhatiannya pada kapasitas pemerintah daerah dalam
melaksanakan kewenangan dan fungsinya. Di satu sisi, banyak pemerintah daerah
mendapatkan keuntungan dari kebijakan ini karena mereka memiliki kapasitas dan
risorsis yang memadai, sementara di sisi lain, banyak pemerintah daerah
terjebak dalam kondisi yang mengkhawatirkan karena keterbatasan kapasitas dan
sumber daya. Kalau ini dipaksakan, lambat laun akan terjadi kesenjangan (gap)
yang luar biasa antara satu wilayah dengan wilayah lain.
Keenam, perlunya peran yang kuat dari
masyarakat madani dancommunity-based groups. Peran vital dimainkan
oleh organisasi berbasis masyarakat maupun civil society dalam
konteks desentralisasi. Asosiasi petani, kelompok-kelompok muda, dan organisasi
perempuan, misalnya, dapat meningkatkan dukungan lokal dan intervensi
pemerintah. Disamping itu, mereka juga memainkan peran sebagai penjaga
kepentingan publik di tingkat lokal. Mereka diharapkan mampu memperbaiki akses
publik kepada pelayanan dasar, meningkatkan kesadaran publik mengenai berbagai
inisiatif yang diambil pemerintah daerah, dan pada kasus tertentu, memberikan
pelayanan secara langsung kepada kaum miskin.
Ketujuh, berkaitan dengan kepemimpinan
lokal. Kepemimpinan lokal tidak hanya berkaitan dengan pemerintah daerah,
tetapi juga kepemimpinan dalamcivil society dan sektor privat. Mereka
diharapkan menjadi consensus builderantara masyarakat dan
pemerintah daerah dan menjadi mediator bagi pemerintah pusat dan lembaga donor
internasional.
Penutup
Desentralisasi merupakan suatu cara untuk lepas
dari jerat-jerat pemerintahan yang tidak efektif dan tidak efisien. Namun harus
dipahami sedari awal bahwa desentralisasi bagaikan bumerang. Kalau digunakan
secara benar, desentralisasi akan tepat sasaran dan seluruh elemen pemerintahan
akan menikmati kemakmuran. Sebaliknya, jika meleset, bumerang akan menghantam
stabilitas nasional dan justru akan memperparah kondisi awal.
Perlu disadari pula bahwa desentralisasi bukanlah
menjadi panacea untuk ”semua” inefektivitas dalam tata
pemerintahan. Pun tidak ada jaminan bahwa berhasilnya implementasi desentralisasi
di suatu negara akan membawa keberhasilan di wilayah atau negara yang lain.
Sekalipun menggunakan format yang sama dalam suatu negara, derajat keberhasilan
implementasi kebijakan desentralisasi bisa saja variatif di berbagai daerah.
Hal ini tergantung pada kapasitas pemerintah pusat dan daerah dan sejauh mana
mereka memandang kebijakan desentralisasi itu sendiri.
Dari pola umum yang terbentuk, banyak negara lalai
dalam memperhatikan rambu-rambu yang menjadi prakondisi bagi implementasi
desentralisasi. Pengalaman di berbagai negara berkembang menunjukkan bahwa
kebijakan desentralisasi membutuhkan kombinasi faktor yang jitu, waktu yang
tepat, serta tingkat eksperimentasi tertentu. Sulit untuk bisa mengatakan bahwa
proses implementasi kebijakan desentralisasi akan berhasil jika tidak ada
kepemimpinan politik yang committed dan tangguh baik di level
pusat maupun daerah. Dukungan yang kuat pun harus ada dari para pejabat lini di
tingkat birokrasi pusat. Kebijakan desentralisasi hanya akan berjalan secara efektif
jika kebijakan didisain secara tepat dan para pejabat di tingkat daerah mau
jujur dan kompeten. Disamping itu, para pemimpin di tingkat nasional harus
memandang proses pemberdayaan di tingkat daerah lebih sebagai suatu manfaat
ketimbang ancaman.
Bagaimanapun juga, kebijakan desentralisasi jangan
sampai menghasilkan local capture – korupsi, karena kalau ini
yang terjadi, dipastikan tidak ada keputusan-keputusan yang responsif (dan
manfaat-manfaat efisiensi). Karenanya, harus ada partisipasi luas dari setiap
pemangku kepentingan dalam pembuatan keputusan di tingkat lokal. Bagi
pemerintah, sudah saatnya untuk bisa memelihara kondisi sosial, kultural,
politik, dan faktor institusional lainnya demi tercapainya sasaran dari
kebijakan desentralisasi itu sendiri.
Daftar Pustaka
Adams, Brian E. Citizen Lobbyists: Local
Efforts to Influence Public Policy. Temple University Press. 2007.
Behn, Robert D. Rethinking Democratic
Accountability. The Brookings Institution. 2001.
Bird, Richar M. dan Francois Vaillancourt. 2000. Fiscal
Decentralization in Developing Countries. Ed. Terj. PT. Gramedia Pustaka
Utama. 2000.
Cheema, G. Shabbir and Dennis A. Rondinelli (Ed.). Decentralizing
Governance: Emerging Concepts and Practices. Harvard University and
Brookings Institution Press. 2007.
Cheema, G. Shabbir. Building Democratic
Institutions: Governance Reform in Developing Countries. Kumarian Press,
2005.
Kettle, Donald F. The Global Public
Management Revolution. The Brookings Institution. 2005.
Rondinelli, Dennis A. and G. Shabbir Cheema. Reinventing
Government for the Twenty-First Century. Kumarian Press. 2003.
Shah, Anwar (Ed.). Local Governance in
Developing Countries. The World Bank. Washington, D.C.
2007.
Rondinelli, Dennis A. (Ed.). Public
Administration and Democratic Governance: Governments Serving Citizens.
United Nation. 2007.
Surat Kabar:
Kompas, Jumat 22 Mei 2009.
[1] Sejak tahun 1999 hingga 2004 kebijakan desentralisasi
dan otonomi daerah telah menghasilkan 7 provinsi, 114 kabupaten, dan 27 kota
baru. Sampai tahun 2007 jumlah kabupaten baru telah mencapai 158 buah, dan
diperkirakan lebih dari 100 lokalitas sedang dalam proses pemekaran menjadi kabupaten
baru.
[2] Dennis A. Rondinelli, “Financing the Decentralization
of Urban Services in Developing Countries: Administrative Requirements for
Fiscal Improvements,”Studies in Comparative International Development 25,
no. 2 (1990).
[3] R. Fisman and R. Gatti, “Decentralization and
Corruption: Evidence across Countries,” Journal of Public Economics 83
(2002).
[4] Menurut Adams (2007), partisipasi warga negara dalam
pembuatan kebijakan lokal dapat ditinjau dari 4 pendekatan yakni warga negara
sebagai: 1)watchdogs; 2) collaborative problem solvers;
3) lobbyist; 4) pawns; dan 5)ideological activist.
[5] Jorge Martinez-Vazquez and Ronald M. McNab, “Fiscal
Decentralization and Economic Growth,” World Development 31,
no. 9 (2003).
[6] H. Davoodi and H. F. Zou, “Fiscal Decentralization
and Economic Growth: A Cross-Country Study,” Journal of Urban Economics 43
(1998).
[7] A. Estache and S. Sinha, “Does Decentralization
Increase Public Expenditure in Infrastructure?” Policy Research Working Paper
1457, World Bank, 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar